"Dek, mbok ya sepatunya dibuang saja? Wong sudah bulukan gitu lo, dek," lamunanku dibuyarkan oleh suara ibu yang diucapkan dari luar kamar.
Pintu pun kubuka, dan…deg! Jantungku berdegup keras ketika melihat sepatu teplek berwarna putih, yang kini sudah berganti warna, dengan 2 garis merah di sisinya yang terletak persis di depan pintu kamarku. Buluk, kata ibu. Memang sudah buluk. Warnanya saja sudah berubah menjadi krem. Solnya sudah aus, ibarat ban metromini yang gundul.
"Nggak bisa, bu. Aku nggak bakal buang sepatu ini. Aku belum mau buang," ucapku pelan sambil menunduk.
"Ya sudah. Tapi, minimal mbok ya dibersihin, gitu lo?"
"Iya, nanti bu," kuambil pasangan antik itu dan berjalan menuju kamar. Ibu hanya bisa geleng-geleng mengasihani nasib sepatuku.
Ibu tidak tahu, bahwa sepatu-sepatu ini adalah barang kepunyaanku yang paling berharga. Ibu tidak tahu, bahwa hanya dengan sepasang sepatu inilah aku bisa mengenang seseorang yang dulu pernah singgah di kehidupanku.
Setelah aku taruh sepatu itu hati-hati di bawah meja rias, aku kembali meneruskan bacaanku di atas tempat tidur. Entah mengapa, bukannya konsentrasi ke novel yang sedang kupegang, pikiranku melayang ke lima tahun silam.
Namanya Awan. Radwan Pribadi Samudera. Dia kakak kelasku waktu SD, dan kembali menjadi seniorku saat aku sekolah di SMU sama dengannya. Entah kenapa, pada awal kami bertemu kembali di sekolah ini, kami langsung akrab. Dari percakapan basa-basi menjadi pertemanan, dari pertemanan menjadi persahabatan. Tak lama kemudian, seperti layaknya anak kembar dempet, kami selalu berdua. Aku selalu menunggunya di kantin setelah kuliah usai, dan dia akan selalu mengantarku ke berbagai tempat untuk menyelesaikan urusan-urusanku yang memang banyak itu.
"Ren..."
"Hmm?"
"Aku mau kamu di samping aku terus. Mau?"
Sebenarnya aku mengerti benar akan pertanyaan itu. Tapi, mau tak mau aku sedikit tergoda untuk memancing kata-kata lain dari mulut Awan.
"Maksud Kakak, apa sih? Di samping? Sekarang juga kan aku lagi di samping Kak Awan," sahutku sambil tersenyum.
"Kamu...dasar kamu! Pura-pura nggak ngerti ya? Ya udah. Aku mau kamu..."
"Hah? Kak Awan mau aku? Jadi apa? Jadi pembantu?"
"Aduh, ini anak. Renata, I want to go through all my life with you. Do you want to spend yours with me?"
Saat itu aku tidak menjawab. Aku hanya bisa memandang matanya dan menatapnya dengan sepenuh hatiku…dan benar, seketika dia tahu jawabanku atas pertanyaannya.
Aku adalah anak kedua di keluargaku. Mbak Nita, kakakku, lahir 3 tahun 11 bulan dan 11 hari lebih dulu daripada aku. Dan itu berarti ayah dan ibuku mengenalnya lebih dulu, menyayanginya selama itu pula. Dari dulu aku diajarkan untuk hanya melihat dan menonton bagaimana kasih sayang didistribusikan, berhubung aku tidak pernah benar-benar merasa disayang. Kalau kata sebuah film, I am the first pancake. Aku panekuk percobaan. Jika bentuknya jelek, maka panekuknya akan dibuang. Tapi tidak begitu kenyataannya. Bagiku, I am the last pancake. Aku adalah panekuk yang terakhir. Sisa. Panekuk pertama masih mungkin dimakan. Tapi kalau panekuk terakhir...berapa banyak, sih, orang yang masih mau menerimaku di perutnya kalau mereka sudah kenyang? Panekuk terakhir sudah pasti dibuang.
Aku tidak pernah sedekat itu dengan keluargaku. Meskipun aku tahu hampir segalanya tentang keluargaku, aku yakin mereka tidak mengenalku. Jangankan kepada ayah, kepada ibu saja aku tidak pernah bercerita apapun. Kepada kakakku...yah, beda umur kami cukup mempengaruhi kedekatan hubungan kami. Apalagi dia selalu disibukkan dengan teman-temannya dan kegiatan ini-itu. Singkat kata, singkat cerita, tak seorangpun di keluargaku yang tahu tentang hubunganku dengan Awan.
Di antara teman-temanku pun, hanya segelintir yang tahu, bahkan bisa dihitung dengan jari. Totalnya ada 4 orang yang tahu. Yang tiga orang adalah sahabatku dari SD, sedangkan yang 1 lagi adalah teman lelaki yang aku kenal dari kegiatan ekstrakurikuler, namanya Satria. Tapi jangan berpikir yang macam-macam. Di antara Satria dan aku tidak pernah ada apa-apa. Kami hanya berteman baik. Itu saja. Kini, selepas SMA dan kuliah, aku bertemu lagi dengannya di kantor yang kini mempekerjakan kami.
Awanku tidak pernah cemburu melihat aku dan Satria pulang bersama. Dia tahu kami berteman, dan bahkan sering ngobrol dengan Satria. Aku memiliki pacar yang paling pengertian di seluruh antero dunia. Dia bahkan mau mengerti alasanku untuk tidak memperkenalkannya lebih dulu kepada orang tuaku, dan justru memilih untuk memperkenalkanku kepada kedua orangtuanya.
Awanku paling protektif terhadap pacarnya ini. Dan aku senang menerima perhatiannya. Panggil aku norak, dangdut, menye-menye, atau apalah...tapi aku sering luluh dibuatnya. Aku luluh, ketika dia berpindah sisi dari samping kiri ke kananku atau sebaliknya– tergantung arah mobil-mobil yang sedang melaju – ketika kami menyeberang jalan, untuk melindungiku. Aku luluh, ketika dia membatalkan acara dengan teman-temannya untuk menemaniku ke acaraku dan teman-temanku hanya untuk memastikan aku tidak pulang kemalaman. Aku luluh, karena dia berkeliling bagian sepatu di sebuah department store untuk membelikanku sepasang sepatu putih. Aku luluh, ketika dia sukarela mengantarku berjalan kaki ke halte dan memayungiku dengan payung bergambar bunga-bunga norak dengan warna terang. Aku luluh, ketika dia memayungiku dengan jaketnya saat payungku tak bisa terbuka. Aku luluh, ketika dia memakan roti isi mesjes buatanku dengan lahap dan berkata, "gila, ini enak banget," padahal itu hanya roti berisikan mentega dan mesjes.
Aku luluh, luluh, dan luluh berjuta-juta kali.
Lalu...
KRIIING!
"Halo, Renata?" Suara bosku. Mungkin hendak mengecek jadwalku bertemu klien hari ini. Dia memang bos yang strict, tapi semua karyawannya tunduk hormat kepadanya.
"Iya?"
"Irene nih."
"Iya, mbak. Ada apa?"
"Saya cuma mau tanya jadwal kamu. Kamu ada janji ketemu Ibu Rita nanti sore, kan?" Tuh, kan.
"Iya, mbak. Nanti di Restoran deNat. Mbak nanti dateng juga?"
"Oh, nggak. Saya cuma mau ngecek aja. Jangan lupa ya nanti kontraknya dibawa. Ibu Ritanya dijelasin lagi tentang kebijakan-kebijakan perusahaan kita. Oke?"
"Beres, mbak."
"Ya sudah. Makasih ya, Ren."
"Sama-sama, mbak."
Klik!
Mataku beralih dari handphone ke novel yang semula kubaca. Akhirnya kuraih lagi novel itu, kubetulkan posisiku di tempat tidur, dan kembali kubaca buku tebal itu. Seketika aku tersentak pada satu kata: leukemia. Penyakit sialan yang akhirnya merenggut orang pertama yang benar-benar aku sayangi. Sesak rasanya dadaku jika mengingat hari itu…hari dimana Awan memintaku menemaninya ke dokter di sebuah rumah sakit di kawasan Bintaro.
"Nak Awan…saya takut nak Awan harus dirawat intensif di RS ini. Saya ngeri kalau nak Awan bersikeras untuk tinggal di rumah, kalau nanti terjadi apa-apa, kami tidak bisa melakukan penanganan secepatnya."
"Dok...memangnya separah itu?"
Mendengar pertanyaan Awan, aku tersentak dan menengok penuh tanya ke arahnya.
"Nak Awan, maaf...tapi, ini sangat akut. Saya sendiri tidak mengerti bagaimana nak Awan masih bisa sekolah seperti biasa dengan penyakit seperti ini."
Pernyataan dokter membuatku semakin panik. Sakit apakah sebenarnya Awan? Mengapa tidak dia katakan sebelumnya? Mengapa baru kali ini aku dibawa bersamanya ke hadapan dokter ini?
"Saya sudah bicara dengan orangtua nak Awan di Singapura. Untuk sementara, mereka belum bisa kembali kesini, tapi mereka setuju agar nak Awan dirawat di RS ini saja."
"Begitu ya? Kalau begitu...besok akan saya kasih kepastiannya, Dok. Terima kasih banyak. Permisi, Dok."
Begitu kami keluar dari ruang praktek Dr. Harto, aku langsung menghujani Awan dengan pertanyaan yang bertubi-tubi.
"Kamu sakit apa? Kenapa harus dirawat intensif? Kenapa kata dokter kamu akut? Kamu kenapa nggak pernah bilang?"
"Sabar, Ren, sabar. Kita duduk dulu yuk, di sana," katanya sambil menunjuk sebuah bangku kayu di ruang tunggu.
Begitu duduk, kuulangi lagi pertanyaan-pertanyaanku, "sakit apa? Kenapa dirawat intensif? Kamu akut? Kenapa nggak pernah bilang?"
"Ren...aku kira penyakit aku ini bakal hilang. Minimal nggak jadi parah kayak gini. Aku...aku leukemia, Ren."
"Leukemia?"
"Nggak ada yang tahu aku sakit. Yang tahu cuma keluarga aku aja. Temen-temen aku nggak ada yang tahu kok. I can't tell it to anyone..."
"Not even me?" Ucapku dengan perasaan sedih bercampur kesal.
"Especially YOU!"
Rasanya, baru kali itu aku melihat Awan kehilangan kontrol atas emosinya. Aku sendiri kaget ketika mendengar nada bicaranya yang meninggi. Namun ketika aku melihat air mata di sudut matanya, seketika air mataku keluar juga.
"I'm sorr...I didn't mean to snap out."
Aku hanya bisa diam.
"Renata. Now that you know...would you leave me?"
Kupandang matanya lekat-lekat.
"Radwan Pribadi Samudera...never will I leave you."
Tepat seminggu setelah percakapan itu Awan mulai dirawat. Aku datang setiap hari ke RS, sampai-sampai aku harus bolos kegiatan-kegiatan ekstrakurikuler sekolah. Sebulan berikutnya adalah cobaan yang berat bagiku. Sulit untukku melihatnya dipasangi kateter, selang infus, dan selang-selang lainnya. Tak jarang pula aku melihatnya kesakitan setiap kali katup infus disuntikkan vitamin atau obat-obatan lain. Untungnya aku bertahan, karena kedua orangtua Awan benar-benar tidak bisa meninggalkan urusan mereka. Bahkan suatu hari mereka meneleponku dari sana dan menitipkan anaknya kepadaku.
Bulan kedua, Awan dan aku mulai terbiasa dengan segala pengobatan dan prosedur rumah sakit yang merawatnya. Awan sudah mulai bisa bercanda-canda lagi, dan kami mulai akrab dengan para perawat di sana. Kedua orangtua Awan sudah kembali dari Singapura, sehingga aku tidak begitu sering meninggalkan sekolah untuk menjenguk Awan. Quality time for family, begitu pikirku.
Di sebuah hari selasa, sepulang sekolah aku dijemput oleh supir pribadi keluarga Awan yang memintaku untuk segera naik ke mobil. Karena aku cukup akrab dan kenal dengan supirnya, tanpa basa-basi aku menurutinya.
Hatiku was-was.
Dadaku sesak.
Aku...deg-degan.
Berulang kali aku menggigiti kuku tanganku; kebiasaanku jika sedang gugup.
Bagaimana aku tidak gugup? Tanpa kabar berita, tiba-tiba saja aku dijemput oleh supir pribadi keluarga Awan untuk pergi ke rumah sakit. Bagiku saat itu hanya ada 2 kemungkinan.
Satu, Awan kritis.
Dua, Awan sudah pergi.
Tapi aku tidak mau terlalu cepat berkesimpulan sebelum aku tahu yang sebenarnya.
Perjalanan ke rumah sakit terasa sangat lama, sehingga begitu mobil berhenti di depan rumah sakit, aku langsung berjalan secepat yang aku bisa hingga sampai di depan kamar Awan.
"Renata, maaf ya Tante langsung kirim supir ke sekolah kamu. Tapi Awan yang maksa tuh. Katanya ada perlu penting sama kamu. Masuk, gih," ujar ibu Awan.
"Iya, Tante, makasih."
Perlahan kubuka pintu kayu itu. Begitu terbuka, terlihat olehku mata teduh Awan yang sedang terbaring di tempat tidur.
"Renata...akhirnyaaaa..! Lama banget sih?"
"Hah? Lama ya? Maaf ya? Padahal tadi supir kamu udah ngebut loh!"
"Iya? Wahahaha...tumben-tumbenan dia ngebut. Biasanya kan dia selon."
"Emm...Wan, kenapa kamu manggil aku sampe nyuruh supir segala? Kamu kan tahu aku pasti ke sini hari ini?"
"Hehehe..aku nggak sabar aja. Lagian, aku pengen ngasih kamu sesuatu."
"Apaan?"
"Puisi."
"Puisi?"
"Iya...puisi. I know I didn't write it myself, but I heard it in a movie, and I just wanted to give it to you."
"I don't want you to give it to me."
"Hah?! Serius?!"
"Serius..! I want you to read it to me, if it's okay."
"Idih, malu ah!"
"Hahaha. Ya udah, aku cuma bercanda. Sini, mana puisinya?"
"Emm...you know what? I'll read it."
"Serius?!"
"Iya. Duduk deh."
Lalu, aku jatuh cinta. Lalu, aku luluh untuk kesekian juta kalinya.
Setelah membacanya dengan parau dan susah payah, Awan tersenyum lemah. Saat itulah aku tahu, dia akan segera pergi. Airmataku tergenang. Sesak di dadaku semakin menjadi. Tak kuat, aku pamit hendak ke kamar kecil untuk menenangkan diri.
Tepat ketika aku kembali, dokter dan perawat-perawat yang bertugas terburu-buru, berlarian ke arah kamar Awan.
KRIIING!
Handphoneku berbunyi. Lamunanku buyar, dan tanpa sadar entah berapa tetes air mata yang sudah aku keluarkan sembari mengenang.
"Halo? Ren?"
Suara Satria. Sore ini kami memang harus bertemu dengan klien di suatu restoran dekat rumahku.
"Iya Sat. Kenapa?" Susah payah aku menahan tangisku.
"Nggak. Gue cuma mau tanya, elo perlu gue jemput nggak nanti? Soalnya kan restonya di deket rumah loe."
"Emm...Kalo nggak ngerepotin, boleh sih. Tapi nggak usah deh, Sat. Gue..."
"Ren..."
"Iya?"
"Elo abis nangis ya?"
"..."
"Inget Awan ya?"
"Iya..."
"..."
"Gue kayak orang goblok ya, Sat? Orangnya udah nggak ada, gue masih aja nangisin. Padahal kan harusnya gue udah lupa sama dia," ujarku sambil kembali terisak.
"Ssshh..Ren. Kamu salah, Ren. Nggak apa-apa kok kalo elo nangis. Tuhan tahu kok, loe sayang sama Awan. Lagian, masa' loe mau ngelupain Awan? Jangan dong. Orang yang udah nggak ada itu cuma bisa hidup di memori elo. Di ingatan loe. Kalo elo ngelupain...siapa yang mau nginget Awan? Nanti Awan hidup di mana?"
"..."
"Ya udah. Udah setengah lima nih. Siap-siap, gih! Setengah jam lagi elo gue jemput, karena kita ketemu klien jam ½ 6. Oke?"
"Iya."
"Oke. Terus...ya udah. Besok pagi, elo gue jemput lagi, kita sama-sama ke makamnya Awan."
"Iya."
"Ya udah ah. Sana, siap-siap ya?"
"Iya."
"Dagh, Ren. See you in half an hour."
"Sat..."
"Iya?"
"Makasih ya..."
"Your welcome. Dagh."
Klik!
Satria. Selain Awan, memang dia yang paling bijaksana. Tersenyum, kuingat lagi kata-katanya, "Lagian, masa' loe mau ngelupain Awan? Jangan dong. Orang yang udah nggak ada itu cuma bisa hidup di memori elo. Di ingatan loe. Kalo elo ngelupain...siapa yang mau nginget Awan? Nanti Awan hidup di mana dong?"
Kutengok jam dinding di tembok kamarku. 16.42.
Masih banyak waktu, pikirku.
"Biii...!" Teriakku memanggil bibi yang ada di dapur.
"Iya, non?"
"Tolong ambilin semir putih sama kain ya!"
"Iya, non!"
Tak seberapa lama kemudian, si bibi datang mengetuk pintu kamarku.
"Makasih ya, Bi."
"Buat apa sih, Non?"
"Ih, Bibi mau tahu aja. Ini, semirnya, mau aku pake buat nostalgia."
"Hah?"
"Udah ah, sana! Sebentar lagi temenku jemput ni."
"Ha? Oh! Iya, iya."
Kututup pintu kamar lalu berjalan ke arah meja rias.
Kubuka kaleng semir, kuambil sepasang sepatu putihku, kuoleskan semir ke kain yang diambilkan si bibi, lalu aku mulai menggosok-gosok sepatu itu agar terlihat decent dan bisa kupakai sore ini untuk bertemu klien.
I do not love you as you were salt-rose or topaz,
or the arrow of carnations the fire shoots off.
I love as certain dark things are to be loved,
in secret, between the shadow and soul.
I love you as the plant that was never blooms,
but carries in itself the light of hidden flowers;
thanks to your love a certain solid fragance,
risen from the earth, lives darkly in my body.
I love you without knowing how, or when, or from where.
I love you straightforwardly, without complexities or pride;
so I love
because I know no other way than this.
Where I does not exist, nor you,
so close that your hand on my chest is my hand
so close that your eyes close as I fall asleep
[Jakarta, 6 Mei 2005, in memoriam]
No comments:
Post a Comment