Pages

21 April 2005

Sang Penumpang

Penumpang taksiku ini masih muda. Dibandingkan denganku, pria 57 tahun ini, dia jauh lebih ganteng...parlente. Pasti kaya. Setelan jas, sepatu kulit kinclong, tas kulit yang senada. Tangannya memegang sebuah buku.

"Mau rapat, Pak?" Tanyaku mencairkan suasana.
"Iya. Saya tadi ada urusan di luar kantor."
"Di hotel?"
"Pacar saya. Biasalah...."
"Oohh...memang beda ya orang muda sama orang tua kayak saya? Hahaha...."

Dia memberiku tip besar waktu turun
Ramah. Sayangnya pelupa. Bukunya ketinggalan.

Iseng, kuintip isinya.

Hari ini ketemu Alex. Muda. Kaya. Nggak kayak DIA. Supir taksi sialan. Suami apa yang cuma ngasih istrinya nasi sama tempe tiap hari?!

Tulisan tangan istriku.

Buat Bapak

"Penggal saja lehernya!" Kudengar teriakan selagi leherku dicengkeram.
"Ya, ya! Penggal saja sekarang!" Seorang lagi..
"Betul! Apalagi yang kamu tunggu?" Dan seorang lagi...
"Tapi dia satu-satunya milik saya. Dia keluarga saya sendiri."
"Ini perintah Dia! Sudah waktunya kamu relakan!"

Bapak adalah manusia pertama yang kulihat sejak aku keluar dari kungkungan.
Hanya 17 hari, tapi rasanya seperti bertahun-tahun.
Yang jelas, tak ada yang mengerti bagaimana leganya aku ketika bertemu Bapak.

"Cepatlah. Ini kan memang kewajiban kita."

Bapak menatapku sedih.
"Maafkan Bapak," katanya sambil mengayun goloknya.

Tak apa.
Untukmu, Pak...apapun aku rela.

Terdengar tahmid berkumandang...

Biarlah aku menjadi 2,5%mu Idul Adha ini.

13 April 2005

Aku, Dia, Dia, dan Dia #2

Perawat yang tadi menghampiriku, bertanya lagi, "ibu...tadi asik ngobrol sama siapa, sih?"
"Sama dia, dia, dan dia."
"Siapa?"
"Teman-teman saya, di kota bayangan. kota surreal. Kamu nggak bakal ngerti."
"Saya pernah ke kota surreal ibu. Menyenangkan. Waktu itu ibu masih muda. Masih doyan sama yang namanya rokok."
"Iya? Masa sih kamu pernah ke sana?"
"Iya. Ibu bilang, 'asap dan matahari terbenam...adalah kenyamanan.' Gitu kan?"
"Lho...iya...benar. Kamu kok tahu?"
"Waktu itu, saya adalah 'dia'."

"Ibu Maya...ibu Maya!" dua tangan asing menggoncang pundakku.
Sekelilingku berubah rupa.

Perawat tadi menghilang.

"Ini lithium ibu. Ayo, diminum. Sudah waktunya," sang psikiater bertitah.

Rupanya otak mempermainkanku.

What's Appealing?

I know you care about the models on TV.

I know you care about the jeans and the shirts they’re wearing.
I know you stare, wanting, if not jealous to the people you stare at.

I know you like the ads.
I know how you look at people, and say, hey, you're ugly.
I know appearance is beauty and beauty is appealing.

I know you.
I know you.

But don’t mind me.
Don't look at me that way.

My body is my business.

Stop staring.
Stop looking.

Stop paying attention,
to the scars, marks, and the cuts
on my wrists.

The Girl with Kaleidoscope Eyes

The girl with kaleidoscope eyes,
sees everything in color.
Except when she cries,
cause her eyes would be filled with water.

One day, the girl with the colorful sight
bumped into a boy
who seemed to shine with lights,
who instantly turned girl to coy.

She likes him,
he likes her.
Smiles, eyes grin.
Nothing was sour.

In one very windy day,
the girl with kaleidoscope eyes was blown
by a breeze carrying news that says
'boy is messing with an unknown'

Girl went home,
found boy with a woman, unknown.
she killed them,
and now she's left, again, alone.

10 April 2005

Permulaan yang Mengakhiri

Aneh.
Sebuah kotak tergeletak begitu saja di atas meja.
Bentuknya indah, berukir wajah dewa-dewi.

Bukan punyaku. Tak pernah rasanya aku membeli barang seindah ini.
Mungkin milik suamiku yang sedang pergi.

Selangkah...dua langkah.
Gerak menuju kotak itu sungguh berat.

Aku…tertarik, sekaligus merasakan ketegangan yang meraja.
Namun, setiap kali aku mengurungkan niatku, rasa ingin tahuku kembali dengan lebih dahsyat.

Ah!
Kotak itu...
Kotak itu memanggilku untuk membukanya...

Aku tak tahan lagi...
Kotak itu mengeluarkan suara tersiksa, membuatku iba!
Aku harus membukanya sekarang juga.

Sekejap, setelah kubuka, kudengar tangisan manusia-manusia di luar sana.
Dari kejauhan, terdengar bisikan mereka, "Pandoraa...karenamu manusia akan terus menderita..."

08 April 2005

Aku, Dia, Dia, dan Dia

Sebelumnya kami tidak saling mengenal. Semua sibuk dengan urusan masing-masing, masalahnya sendiri, atau masalah orang lain yang kira-kira dapat kami tangani. Baru sekarang kami berkumpul.

Pemandangannya...bagus.
Di bawah sana ada danau; sebuah rakit di pinggirnya.
Sekeliling kami penuh pepohonan, sedangkan kami duduk di tengah lantai mozaik dari kolase pecahan ubin. Lumayan unik, mengingat kami sedang di tengah 'hutan'.

Bersama, kami mengeluarkan pikiran-pikiran pintar, bertukar cerita, tertawa-tawa. Berbeda dari kami ketika di tengah kerumunan orang.
Bersama mereka kunikmati waktu, tak ingin beranjak lagi.

Seseorang menghampiriku, "ibu ngobrol sama siapa? Psikiater ibu sudah menunggu."

...

Seketika, sekelilingku berganti rupa...
Kota surreal-ku hilang.

Telaga Bidadari

Istriku meninggalkanku dengan anak kami, Kumalasari, yang masih merah ketika ia pergi.
Betapa kejam dirinya, tega memalingkan mukanya terhadap Kumala, terhadapku yang selalu mencintainya -walau harus kuakui, wajahnya memang sungguh cantik.

"Aku harus pergi, Suamiku."
"Mengapa?"
"Karena kau telah berbohong padaku?"
"Aku selalu setia kepadamu, istriku. Bukankah kau ada di sini karena..."
"Terpaksa! Aku ada di sini karena terpaksa! Dipaksa olehmu, walaupun kau tidak mengakuinya. Kalau saja Kumala tidak ada..."
"Jangan kau gunakan anak kita sebagai alasan!"
"Sudahlah. Tak ada gunanya. Aku pergi," dan beranjaklah dia dari bumi.

Namanya Putri Bungsu.
Satu tahun lalu aku mengambil selendangnya di Telaga Bidadari.

07 April 2005

Perjalanan Menuju Hecate

Alkisah, terjadilah sebuah kisah yang menurut beberapa orang mungkin tidak terlalu indah. Tahun 1997. Seorang lelaki dan seorang wanita Inggris memadu cinta. Memadu kasih sembari berkunjung ke kota Paris.

Yang lelaki adalah anak terakhir dari yang membawa nama nabi.
Sedangkan yang wanita adalah saudara kembar Apollo; namun namanya milik Romawi.

"Sayangku, aku cinta kamu," lelaki berkata.
"Sayangku, akupun juga," wanita menjawab.
Begitulah kata-kata itu diucap setiap harinya

Di Paris, Perancis...penghujung sebuah bulan yang mengatasnamakan kaisar.
Di Bumi, Jagad Semesta...Di bawah rembulan yang hampir purnama, Apollo menangis dan menolak memberikan sinarnya.

Ia berkabung berselimutkan gerhana.
Kembarannya mati;
Dia yang dipanggil diviana.

Catch of the Day

Kemarin cintaku kau terima.
Tidak akan ada orang yang dapat merasakan apa yang kurasakan hari itu. Rasanya indah, mengingat sudah lama sekali aku mencintaimu.
Memang, kau selalu berlaku baik kepadaku. Dunia seakan berjalan lebih lambat dari biasanya setiap kali kau tersenyum, atau tertawa.
Namun itu tak cukup untukku.
Aku menginginkanmu di sini sepanjang hari, setiap hari dalam hidupku.
Akhirnya kaupun akhirnya mengerti.

Sukarela, kau terbius untuk ikut denganku.
Di sini.
Di kamarku.
Sepanjang hari.
Dan untuk setiap hari dalam hidupmu; hidupku juga.

"Sayang, ini makan siang kamu," sambil kusodorkan sepiring makanan untukmu lewat jeruji kandang itu.

Takkan lagi kau kulepas.

Istriku, Kekasihku, Aku...

Kalau saja kau ada di sini, pasti kau akan mengerti.
Seperti layaknya perasaan itu, yang muncul saat menyaksikan terbenamnya matahari di laut lepas ini, aku mengagumi.
Terpesona.
Terbuai saat merahnya menyentuh air biru yang luas terbentang ini.
Terpana melihat wajahmu di benakku yang bahkan lebih indah dari segala kebesaran ini.

*

Istriku, aku berselingkuh.

Mengapa, katamu? Entahlah. Kau pikir, mengapa?

Istriku, apa kata orang jika kata cerai itu kita ucapkan bersama?

Istriku, tak maukah kau memberikanku satu kebahagiaan saja?

Aku...mencintainya.

*

Istriku, maafkan aku yang mendorongmu jatuh dari kapal ini…tapi kau tak pernah mau mengerti.

Kekasihku, tunggu aku di sana.