Pages

13 December 2005

Dariku

mungkin rentannya kebahagiaan
tidak datang dari mana-mana,
tetapi dariku,
yang harus terus menambah jarak
berjalan membelakangimu.

Sampai Mati

misalkan aku mati sekarang
dan meninggalkanmu sebuah surat cinta
akankah kau menangis dan menyesal
dan merasaku memelukmu dari belakang?

Aku Punya 1001 Puisi Untukmu

aku punya 1001 puisi untukmu
dan kesemuanya
adalah 1001 alasan
untuk tidak membacakannya
di hadapanmu

Kopi Sore Hari

sepertinya sampai kapanpun
ini akan terus menjadi harapan kosong:
kamu mencintai aku
dan aku mencintaimu yang mencintai aku
tapi setidaknya kita menikmati saat-saat ini
menghabiskan momen-momen indah bersama
tak menghiraukan hal yang lainnya.
sebentar lagi angka 12 adalah 60
dan tangan waktu akan berhenti
mati suri untuk sementara
selagi kita memicingkan mata, melihat jauh ke depan.
sementara itu, aku akan terus menanti
saatnya kita minum kopi di sore hari
melepas penat bersantai sejenak
hingga waktu menyuruhmu untuk pulang

kepada temanku yang ditinggal temannya jatuh cinta

seperti tertinggal kereta, bukan?
yang tersisa hanya rasa kecewa
setelah berlari mengejarnya,
memanggil-manggil, tapi yang ia lakukan hanya berlalu.
segalanya memang lebih mudah
jika kau 'melapisinya dengan kalkir'
agar semuanya berubah 'penuh miasma',
tak terlihat 'walaupun sebenarnya ada.'

kepada temanku yang ditinggal temannya jatuh cinta,
cinta akan datang kepadamu
dan jika kau mau
nanti ketika datang pianis dan manajer botak
hendak bermain engklek,
melempar dadu bermain ludo,
berlagak kaya bermain monopoli,
atau berlarian riang bermain galaksin,
lalaikan saja momen-momen itu.
sambut cintamu.

Berselisih Jalan

aku memang selalu menanti
datangnya undangan makan malam
atau sekedar lambaian tangan
darimu, selalu kunanti.

malam itu tiba berita darimu,
"Aku ada di dekat rumahmu.
Makan malam bersama?
Bagaimana, sayangku?"

refleks hatiku menjawab, "ya"
tapi sayang sekali sungguh, sayang
tawaran makan malam darimu datang
terlambat sudah adanya.

Di sampingku telah menunggu
hati lain yang ingin mencintaiku
karena kamu tak mernah membalas dengan pasti
aku berpaling dan kini telah memilih.

A Dying Heartbeat

a smile from you means one less heartbeat.
a full conversation is like digging my own grave.
i sure get jumpy everytime we're supposed to meet
but you hug me only in May; my birthday.

i'm sure my heart's surviving with patches
each for the scar you unknowingly scrape.
and while you love our moments of nothingness
how haven't you noticed i've been dying a little bit each day?

Promenade, Bersamaku?

senja indah terbit sudah
dan langit berubah merah
bebunyian mendadak sunyi
digantikan makluk malam sibuk menyanyi

kuambil hati yang sempat
tergeletak kehilangan cinta sesaat
tertitipkan padanya kenangan
sebuah sakit, diam tertahan

mencinta untuk cinta

kalau kau mengerti ini kutulis untukmu
luangkanlah waktu; promenade
terakhir kali, bersamaku
di bawah purnama dan 1 bintang itu*

23 October 2005

Sayap

deru angin dan banjuran air hujan membuat hari ini lebih dingin, walaupun jam baru menunjukkan pukul 11. matahari yang sedari pagi memang bersembunyi di balik awan masih bersinar walaupun terlihat temaram. aku duduk sendiri, menunggu makhluk-makhluk lain berdatangan sambil mengepakkan sayap-sayap indah mereka.

sembari melipat kaki agar terlindung dari air hujan yang menetes dari palang, kuperhatikan bunga-bunga yang ada di dekatku. begitu basah, kelopaknya terlihat akan segera sobek dan rusak. rerumputan di sekitarnya juga basah, namun aku tidak begitu peduli karena...hanya karena mereka tidak menarik.

...dingin.

aku merinding kedinginan, terkena hujan kemudian angin. dan makhluk-makhluk itu belum ada yang datang. wajar, derasnya air yang tumpah dari atas pasti membuat mereka kesusahan untuk mencapai tempat ini.

akhirnya kubuka agendaku dan mulai membuat garis-garis tidak beraturan. gambaran perasaanku saat itu. ruwet. berbagai macam rasa bercampur menjadi satu. aku berganti gerakan tangan dan membuat tulisan-tulisan yang tak ada artinya. kalimat-kalimat kosong yang tidak berfungsi apa-apa. dangkal. kalimat-kalimat murahan yang kudapat dari lirik-lirik lagu.

...dingin.
...bosan.

aku merinding kedinginan sambil menumpuk kebosanan, terkena hujan, angin, kemudian sepi, dan makhluk-makhluk itu belum ada yang datang. padahal aku sudah menanti kepakan sayap-sayap cantik sedari tadi. wajar, derasnya air hujan pasti menghambat mereka.

si hijau milikku tidak bertenaga lagi. baterainya habis, keberadaannya sia-sia. kupalingkan lagi wajahku ke bawah, menatap agenda yang masih terbuka tadi. kali ini kuputuskan untuk menulis apa saja yang keluar lewat gerakan tangan, tanpa berpikir.

jadilah lembaran-lembaran kertas semakin penuh dengan coretan tanpa arti. gabungan dari tulisan, garis, kurva, dan titik-titik yang tidak bermakna. yah, setidaknya aku terlihat sibuk.

...dingin.
...bosan.
...pegal.

aku merinding kedinginan, menumpuk kebosanan, sambil menggerakkan leherku yang mulai pegal setelah dilanda hujan, angin, dan sepi. hujan mulai melunak, merintik. suasana semakin sunyi, namun entah mengapa saat itu aku mendengar sesuara memanggil namaku. akhirnya, sambil menoleh ke arah pintu mencari sumber suara tadi, sudut mataku menangkap sosok-sosok familiar.

mereka datang.

makhluk-makhluk yang kutunggu sedari tadi sudah datang, lengkap dengan sayapnya masing-masing. berkilauan dengan indah terkena tetesan hujan dan sinar matahari sekaligus.

...

kupu-kupu? malaikat? hanya aku yang tahu.

...

"ada kelas apa?"

aku tersenyum hendak menjawaqb, dan pada saat itulah hujan seperti berhenti, dan matahari menembus awan-awan yang menghalangi, memelukku dengan kehangatan, seolah ia menyayangiku.

short ones

and when i say
all the nice things about you
they would only be an understatement
because you're above and beyond
anything i'd ever hoped for
________

betapa inginnya aku bicara apa adanya.
tapi ketika aku bilang matamu bagus
kamu bilang "aku tahu, semua orang juga bilang begitu"
________

tak maukah kau duduk di sini?
sebentar saja,
sekedar menemani air mataku
sampai alirnya terhenti

dan kalau kuulang lagi
permintaan picisan ini
masih tak maukah kau duduk di sini?
menemani?
_________

so what is it you want me to do?
i'll get up, go, and do it for you.
if you tell me to fly high,
i'll go get a star from your favorite sky.
take your time, it's okay to be late
believe me it is, i'll just stay and wait
if you want me to be here, i will
even when you don't need me near.

if you tell me to fly high,
i'll go get a star from your favorite sky.

04 October 2005

Mati Suri

lalu sepi menghampiri
berisik suara berubah sunyi
dan tembok bata yang mengelilingi
perlahan mulai rontok

satu demi satu
orang-orang di dalamnya menghilang
memburam pergi perlahan
seiring leburnya batu

lalu sepi menghampiri
berisik suara berubah sunyi

Under Pressure

Water submerge my lungs
to find it's better to watch from afar
to find i'm better set aside
as the truth concealed has been revealed

i can't feel my breathing
as the air is taken away from me
replaced by so much misery
and i begin to prefer being lonely

the cold is spreading
my head is aching
and i can't stop wishing
a beginning for an ending

but i guess the end's already written
i won't ever get The Fates to listen
anyway, i promise today i won't be bitter
i'll stand near nowhere but in the middle

asap dan wangi menthol memberikan kenyamanan

aku menikmati kesedihan
bertemankan sakit hati
menunggu sampai datangnya waktu
ketika kamu berjalan ke arahku
sehingga asap dan wangi menthol menyelubungi
nikotin meracuni otak dan hati
kabut dan tabir menyelimuti yang nyata
dan aku berubah lebih bahagia

a morning rambling

it was early in the morning
when interestingly enough
i'd rather listen to the commercials
because the djs were sucky.
but the ads started to become boring
it was the same brands and taglines
following the same annoying jingles
on every freakin' frequency.
so i turned down the volume
because i can't turn the radio off.
cause i can't stand the quietness
or the loudness of the voices inside my head.
i heard hissing and swearing
as if i was in a movie about witches
casting spells in front of a kettle.
but there were no filmrolls,
it was just the fireworks
going off in my head.
i heard kabooms and crashings
as if i was in a movie about wars
with bloody soldiers, canons and bombs.
but there were no explosions.
they were the ocean waves
i'm wishing too hard to hear right then.
i closed my eyes as i breathe
and for a split second,
i swear, in the dark, everyone was running
leaving behind those "EAT MY DUST" laughters
in RGB color, with full speed,
while i was still standing,
colorless and motionless.
and so,
as i began to feel tired
of all the commotion going on,
i opened my eyes,
and gazed to my right
through the window of my car.
and found serenity
from the cars
stuck, all so motionless
in the middle of the traffic.

01 September 2005

kisah imigran musiman

awan-awan oranye
begitu cantik berurai tipis
menghias remang langit senja
di atas atap-atap beton kota Jakarta

kunang-kunang warna-warni
tergantung ramai menyebar nuansa,
menggoda mata yang melewati
untuk berpaling ke sisi-sisi jalan

lebaran berakhir,
kukemasi kain di emperan
tempat dagangan kujajakan
dan beranjak aku pulang ke kampung halaman.

kutinggalkan hatiku di Jakarta
kutitipkan pada kenangan
dan kapan nanti...
pasti kuambil kembali

30 August 2005

seribu suara berkuasa

berdiri dia di sebuah stasiun kereta
sendiri,
berdua,
dengan kesendiriannya.

hijau, merah, lampu berganti,
dan selintas terasa
semilir hangat angin sore
melewati tengkuknya

satu, dua, tiga,
seribu kereta melintas.

berdiri dia di sebuah stasiun kereta
sendiri,
berdua,
dengan kesendiriannya.

oranye, abu, gerbong berganti.
dan selintas terlihat
lelatu rel dengan roda
cantik mengisi gelap petang

satu, dua, tiga,
seribu kereta melintas.

berdiri dia di sebuah stasiun kereta
sendiri,
berdua,
dengan kesendiriannya.

hitam, putih, pikirannya bergejolak
dan selintas terlintas
amukan hati berputus asa
suara-suara berisik dari dalam adalah tuhannya

satu, dua, tiga,
seribu suara berkuasa

***

terbaring kaku dia di sebuah rel kereta
sendiri,
sendiri,
tanpa nyawanya.

aku sedang mencintai seseorang diam-diam

aku...sedang mencintai seseorang diam-diam
bahkan langkahnya, aku tahu setiap irama dan ketukannya
setiap kalimatnya aku bayangkan menjadi lagu-lagu cinta
sayangnya bayangku di hatinya tidak ada,
selalu menjadi sekelebat angin
yang lewat melalui pohon meranggas
dan berubah menjadi daun-daun rapuh
yang terjun terhempas
namun melayang ringan perlahan
sambil merintih lemah
hinga jatuh ke tanah..

13 August 2005

End It Now

as rainbows and stars
pass calmly through my skies,
i burn all the paradise
i've been building and mythicize

step on my sand castles
yes, you're allowed to do so
and no, i won't wrestle
it's useless, i know.

as moonbeams and wind breeze
flow smoothly through my nights,
i silently try to freeze
all my hopes and dreams in sight

burst all my bubbles
yes, you're welcomed to do so
and no, i won't cause you trouble
i'm done here, i know.





[ah, ya sudahlah..]

Di Tengah Jalan, Siput Berubah Keriput

Hari ini terasa panjang. Bahkan terlalu panjang untuk dirasa pendek. Setiap gerakku seakan terhambat. Detik-detik melekat seakan tak mau lepas satu sama lain. Waktu menjerat tubuhku untuk dapat bergerak lebih cepat.

Aku lelah.
Betapa inginnya aku berhenti sekarang.

Untuk seorang manusia jarak dua langkah itu kecil, tapi sejauh ini rasanya semak itu masih jauh dari jangkauanku. Seakan-akan kebun ini telah berubah menjadi sebuah stadion besar, dan aku berada di tengah lomba. Sayangnya, tak satupun penonton bersorak untukku.

"Ma! Ada bekicot! Aku kasih garam ya? Biar mati!"
"Jangan, Nak. Kita tunggu saja dia sampai ke tujuannya. Lihat semangatnya."


Oh...mungkin satu orang.

07 August 2005

Radit Yang Tidak Cengeng

Radit kecil lahir sekitar 8 bulan yang lalu, membawa kebahagiaan kepada orang-orang di sekelilingnya. Hubungan kedua orangtuanya dengan masing-masing mertua kian membaik karena kehadirannya mengisi ruang kosong di hati keempat orang tua itu.

Radit tidak seperti balita kebanyakan. Bukannya bangun dan menangis di malam hari, dia tampak tidur pulas. Tak satu haripun orangtuanya terbangun karena jeritan dan tangisan tengah malam.

Ayahnya bangga, anaknya tidak cengeng.
Ibunya bersyukur, tidurnya tidak terganggu.

--

Malam ini di tengah tidurnya Radit terbangun. Matanya menangis melihat sosok putih berambut panjang di depannya, namun tak satu suarapun terdengar karena kuntilanak itu membungkam mulutnya.

Seperti pada malam-malam sebelumnya.

05 August 2005

Teruntuk Alice

gundukan tanah
yang ada di kebunmu
adalah tumpukan perasaan
orang-orang yang akan kau jumpai

liang kelinci yang kau masuki
adalah misteri alam pikiran
yang menyedotmu masuk
ke dalam ketidakwarasan

ulat yang bersantai di sebuah jamur
dengan rokok dan asapnya
akan mengajarkan kau
bagaimana menikmati candu

kucing gila yang terus menerus menyeringai
adalah hilang-timbulnya
sengitnya pertengkaran
otak kiri dan kananmu

lorong-lorong berpintu
adalah labirin rahasia
tempat cinta dan iblis
mengaduh bentrok kesakitan

dan ratu berbadan kartu
adalah dirimu
ketika kau terlalu sibuk melangkah catur
dan tak lagi mengenal cinta

31 July 2005

Surat Cinta

Temanku memotong urat nadinya Senin lalu. Sebuah cara yang terlalu konvensional untuk bunuh diri, tapi nyatanya dia berhasil merenggut nyawanya sendiri.

Ibunya menelponku kemarin, "Tiara, bisa tolong tante membereskan barang-barang Andri?"

Jadi aku datang hari ini. Ibumu terlalu sedih untuk masuk sendiri ke kamarmu.

Apa yang salah, Ndri?
Aku berulang-ulang kali bilang kamu temanku yang paling berharga.
Sahabatku yang takkan terganti.
Aku berulang-ulang kali bilang itu.

Berulang-ulang kali.

Di antara barang-barangmu, kutemukan sebuah surat yang ditujukan kepadaku.

"Aku cinta kamu, aku cinta kamu, aku cinta kamu."

Surat cinta?

"dan aku tak mampu lagi bernyawa
bila dirimu takkan jadi milikku."


Bukan.

17 July 2005

Redupkan Gilang Gemilang

terang malam
rindukan awan
menutupi
rembulan

bersenandung sedih
bintang redupkan
gilang gemilang
sinar manisnya

jalan kota mengosong
neon lampu memudar
dan gelap akhirnya
hati

sunyi
sunyi
menanti...
penabuh matahari

sunyi
sunyi
menunggu...
dirimu

15 July 2005

a romantic overture

i deliberated
an entrapment,
designed specifically,
and only, for me

and somewhere
along the way
the gears stop winding
tired of rotating

overtaken
by mists of different colors
my trap evolved
into a maze i must solve

"i'd win it against time,"
tracing the walls
with my left hand,
wishing the exit i'd find

...
truth is
pain,
the exit's an illusion

...
and i would
love,
to instantly give up

so come on,
step over here
give me my break
be my escape

07 July 2005

Lain Dulu, Lain Sekarang

Malam itu hujan turun lebat mengepung dua sosok manusia di sebuah halte.

"Mau ke mana?"
"Pulang, mas"
"Ke?"
"Mahakam."
"Hati-hati, mbak. Banyak PSK. Warianya juga banyak."
"Ooh...iya. Memang banyak. Tapi kan nggak bahaya?"
"Eits...jangan salah, mbak! Waria-waria kadang-kadang jahat sama cewek. Takut diambil, kali, pasarnya..."
"Hahaa...masa iya?"
"Iya, mbak. Serius!"
"Iya, deh. Nanti saya hati-hati."
"Kok mau ya, jadi waria?"
"Yah...mungkin nggak ada pilihan lain..."
"Masa? Mereka 'kan bisa cari kerjaan lain?"
"Palingan kebanyakan cuma lulus SD, mas. Eh! Bis saya datang, mas! Duluan, ya?"
"Iya, mbak, silahkan. Ngomong-ngomong, nama saya Iwan."
"Saya Nina. Tapi dulu nama saya juga Iwan."

04 July 2005

Dan Kini Tentang Kemarau

aku merindukan
kemarau
membatik nuansa ramai
lewat tabuhan
nada gemerisik ranggasan
layang terbang layangan

aku merindukan
datangnya lagi
angin menabur
dedaunan kering,
kering,
dan kering
tiup angin

aku merindukan
kemarau
memainkan
warna indah
oranye di atas hijau
indah
ketidakteraturan awan
indah, dan indah
indah

aku merindukan
datangnya lagi
canting alam
membatik meriah suasana
...dan kutunggu
hingga datang kering
kering,
dan kering

01 July 2005

Awake, No More

sleep..
and dream more..
of me, of you,
of us, of everyone you know

sleep..
and i'll meet you there
i'll dream, you'll dream..
i'll breathe, and you'll be my air

must i,
i ask of you
wake up if you do?
when why would i, i'd be losing you.

should i,
i ask of you
be letting you go?
for if i do, when would you know?

sleep
and dream more
i'll meet you there
and be awake, no more.

Dreamland Recorder

fabulous things are still faraway
but you may do what they'd always say
i think it's been a matter of history
and as long as it is, it would always be.

but history is manipulaion
and your mind's been playing tricks on you
we're at the heels of revolution
moving upwards slowly solving clues.

but when you're finally there
i'd already be waiting
with a camera of any kind
so long it's time it's killing.

... and make a still out of it
of not being alone under the crimson-colored sky
sprayed by the extravagant fountain
and the green's beautiful enough to die.

...and make a tape out of it
with a dreamland recorder
we've gone for years now,
should there be a reason to falter?

Menghamburlah Kepadaku

Matahari mencair di indahnya merah laut senja,
Dan kau menatap air matanya dengan penuh duka.
Hanya menunggu datangnya badai berkepanjangan
Berpura-pura tegar meyakini; dirimu pasrah.

Tapi ketika warna hatimu menjadi kelam
Dan ketika luka itu menjadi tak berperi,
Menghamburlah kepadaku untuk suatu jeda dari siksa.

akan kusambut dengan perisai indah penahan lara,
atau merangkulmu saat kau lelah merintih..
dan kubuat badai itu menjadi ketenangan yang meraja.

Untuk Sementara

Untuk sementara,
Biarkan aku berduka
Di balik rentetan gigi yang terlihat saat aku tertawa
Agar sakit itu nyaman rasanya.

Untuk sementara,
Biarkan pedih itu tinggal sejenak
Sampai saatnya ia tergantikan
Oleh luapan kegembiraan yang akan tiba kembali.

Untuk sementara,
Acuhkan airmata ini,
Pasangkan topeng panggungku dengan sempurna,
Dan mainkan tali penarik tirai tanpa pertanyaan.

Untuk sementara,
Arahkan lampu panggung ke lakon lain,
Sembari aku duduk di sudut panggung
Menikmati tangis ini.

Maka Identitas Tidak Lagi Menjadi Soal

Ketika gaung kalimat kebenaran sudah terdengar
Begitu jelas di telinga
Begitu sakit terasa
Itulah waktuku untuk bersembunyi

Untuk sekali ini saja, biarlah kakiku melangkah!
Setidaknya jauh menepi
Dari ombak air bersahutan
Datang dan pergi...datang dan pergi

...persembunyian dari harap...
...imaji yang tak berbalas!
Yang berawal dari cabang yang kulangkahi sembari menatapmu.

Aku hilang arah - tujuan kemana seharusnya jejak kularikan
Dunia ini lelucon kosong!
Tanpa warna, tanpa suara,
Tanpa harum, tanpa rasa!

Aku terjebak dalam labirin ke'andai'an...
Sayangnya, tanpamu.

~ maka identitas tak lagi menjadi soal,
jika tidak ada engkau untuk mengenalku.

oLtArIaN vKeAzL I

Akan kuungkap semua
Tepat kali lain jika kau bertemu denganku
Karena kali itu, matamu
Akan melihatku melihatmu.

Ya, kuungkap semua cerita..
Segala muram, durja, dan murka selayak Kurawa membenci Pandawa
Segala cita, ria, dan suka selayak Bima berputra Gatotkaca.
Segalanya tentang kita.

Tentu saja, kali ini tanpa embel-embel cerita wayang.
Hanya kata, wacana sebenar-benarnya.

Pelangi Cinta Berselimutkan Durja

Siang ini hatiku tertusuk
Oleh garis-garis tajam pelangi cinta
Yang hadir lewat kata-kata indahmu
Yang Sayangnya tertujukan pada seorang lain.

Betapa indahnya warna darah itu
Ketika menghujam sebuah pisau laknat
Yang mendarat pedih dan disesali
Di tempat aku menyimpan cinta untukmu.

Sulit rasaku melawan gravitasi
Untuk naik kembali ke permukaan bumi
setelah jauh aku tertelan - menuju kulit neraka
merasakan tajamnya balutan duri bertopeng kecewa

Pelangi cinta itu berselimutkan durja
Yang tak akan terbuka sebelum - mungkin - kiamat.

Tapi pada akhir waktu, jika datang akhir waktu,
Aku akan belajar kembali melihatmu

Hanya saja kali ini dengan menutup mata.

Kapanlah Akan Datang

Mungkin kalau bukan hari ini,
Saatnya akan datang esok lusa
Untuk menggeser imaji dengan gambaran
Murka akan keadilan yang tak kunjung datang

Alasan tak pernah masuk akal..
Namun akalpun tak jelas warasnya.

Jika esok lusa ia tak datang pula
Masa depan masih luang - lapang.
Kecuali jika waktu hancur dan binasa,
Tanpa pagaran dan batas ia luas terbentang.

Tapi rongga itu terlalu luas
Untukku mengambang sendiri.
Timbangan itu masih timpang,
Dan sayangnya ia tidak memihakku.

Capit-capit kokoh dengan hati bijaksana telah pergi
Namun aku bukan boleh menggapai..
Bukan pula bisa mencapai dan merengkuh kembali
Indahnya hati itu

Maka kepadaNYA..
Entah sampai kapan, aku rahasiakan selintas kalimat cinta.

Kenbali, Dan Kembalilah

Maka kembalilah,
Wahai merpati kedamaian
Sebagai pengganti isi sebuah rongga kecil di dada
Bekas wadah rasa yang tak berbalas

Saat gerak tak lagi mungkin menjadi gemulai
Dan parau telah menjadi warna suara
Sayapmulah sebenda,
Sebuah harapan!

Kembalilah kepadaku,
wahai lambang alur halus akan rasa bertitel cinta!
Dengan paham damai membekas,
Penuhilah ruang kosongku.

Equilibriumku Hancur

Hilang keseimbanganku malam ini,
Namun tak jelas
Ke kiri atau ke kanan..
Atau mungkin dalam diam.

Daratan menghilang dan membaur dengan lautan
Seakan batasan yang bernama 'pantai'
Kehilangan karang dan pasirnya
Tenggelam dalam pasang tiga samudera.

Equilibrium hancur tak bersisa
Ikut terbawa ombak begitu kuatnya
Hanya pusaran angin menemani malam
Sebagai refleksi dari nurani yang porak poranda.

Titian itu tak lagi kelihatan
Ia menghilang jauh dari perlahan
Seiring dengan kabut yang menghalangi mata
Seirama dengan lagu sedih yang dilantunkan bulan.

Hilang keseimbanganku malam ini
Dan terpaksa aku jatuh,
dengan sukarela.

Lengan-lengan Cakrawala

Melangkahlah kemari temanku,
Kutunjukkan kepadamu yang akan selalu hilang
Daripada hidupmu.

Melangkahlah kemari dan lihatlah
Mataku menawarkan pelukan
Yang datang dari lengan-lengan cakrawala
Sebagai penyadarmu.

Matahari senja itu akan terus hadir di sini
sembari kau dipeluk, direngkuh,
Oleh lengan-lengan kokoh pengikat bumi,
Hanya agar tak kau ikuti senja sedih ini
~ singgasana tempat sang surya berpendar durja.

Bukan Untukku

Hidup ini sayang untuk dilewatkan, katamu
Ya, kalau saja ia memang berharga
Dengan lelatu-lelatu kecil yang timbul
Sedemikian indahya setiap kali kau lalu.

Hidup ini begitu manis, katamu
Ya, kalau saja ia tidak terlalu penuh
Dengan gemuruh suaraku sendiri
Merintih dan merintih.

Besok Malam Saja

Hari ini aku menyapa malam,
Memuji langit dan bintang miliknya.
Aku tersenyum, sedikit memicingkan mata,
Dan terteteslah sebentuk air titik hati.

Saat ini tak ada yang lebih baik untukku
Daripada jatuh ke ketiadaan.
Karena aku takut, tak ada lagi yang sanggup kulepas,
Dan aku takut akan kesayupan sosok yang biasa kulihat jelas...

Dan saat ini tak ada yang lebih baik untukku
daripada lari dari nyata
dan menghindar jauh darinya..
jatuh ke ketiadaan hampa.

Tapi, astaga...
Malam ini begitu terpuji, dan aku tak bisa berpaling darinya.

-biarlah aku jatuh..
Besok malam saja.

Degradasi Kesedihan

Hal bagus menimpaku hari ini
Dan menyeretku dari lautan durja
Setelah sekian lama aku kehabisan nafas
Sukarela, tenggelam di dalamnya.

Hal bagus membuatku tersenyum hari ini
Tulus, bahkan hingga tawa.
Sehingga perih yang tadinya sangat
Seketika berubah sampai hampir tiada.

Ini suatu sempurna,
karena akulah garis terakhir yang tercipta
pada pelangi
Yang terakhir di, dan merasa terpuji.
Setelah sekian lama, akhirnya terjadi..

sebuah degradasi

Kepada Pujangga

Kepada pujangga,
Telah kulontarkan sebuah pertanyaan
Yang tak perlu jawaban, benar!
Hanya sekedar renungan.

Kepada pujangga,
Telah kuberikan kepadamu
Untuk menenggak anggur bersama;
Sebuah undangan bertulis tangan

"ah! Lihat," kataku pada pujangga
Bulan sempoyongan seakan bertarian.
Pun juga yang diberinya sinar, malam.

Pujangga, sahutlah kalimatku
Sambutlah dengan segenap luas hatimu itu,
Sambutlah dan jangan diam.

Lalu, Pujangga...

betapa aku suka 'suara'mu
Karena suara itu adalah caramu
Meninggalkan - menegaskan - sebuah identitas di dunia
~ di hatiku.

Kepada pujangga,
Aku cinta 'suara'mu.

30 June 2005

No. 1 Priority

Kriing..!

"Halo?"
"Halo, sayang."
"Gimana nanti malam?"
"Nanti malam?"
"Iya. Aku udah masak buat kamu."
"Oh ya? Masak apa?"
"Tebak, dong!"
"Aduh, nyerah deh. Kamu bikin apa, say?"
"Ih, kok nyerah? Yakimeshi, kesukaan kamu!"
"Aduh, kamu baik banget. Tapi, maaf ya...aku udah keburu janji untuk ke rumahnya."
"Lagi? Kamu kan udah 2 weekend ini ke rumahnya!"
"Habis, mau gimana lagi? Dia kan..."
"PENGGANGGU! Kapan kamu bakal punya waktu buat aku?"
"Jangan gitu dong, sayang. I promise I'll make it up to you."
"Whatever."
"Love you, hon."

Klik!

Kapan-kapan kita ke rumahnya bareng, hon...lalu kubuat ibumu tidak menjadi pengganggu lagi...

Selamanya.

23 June 2005

About Dreams

so this is it?
i was expecting
something bigger, to be honest
something more

so what's the use?
of my mind
constantly wandering,
about the reality i'm suspending?

so i am done?
finished for the day?
or maybe the week, the year?
even finished for the life?

so those are it?
dreams,
my suspended reality,
will keep on be?

11 June 2005

Hinggap

Kamu, manusia paling bersahaja dengan wajah paling mendebarkan hati dari semua orang yang pernah kulihat.

Aku, paling suka menciumi bau-bau manis dan wewangian harum yang ditebarkan bunga-bunga bermekaran sepanjang jalan setapak di dekat rumahmu. Maafkan, tapi daun jendela yang terbuka lebar seakan mengundangku...jadi, kadang aku suka masuk menyusup ke dalam rumahmu.

Dia, tidak ada kata-kata lain untuknya selain 'jalang'. Dia adalah penghalang besar bagiku untuk dapat selalu bersama kamu, seakan dunia ini tidak cukup besar untuk kita bertiga.

"Yang, kupu-kupu ini balik lagi nih ke sini. Aku kan sudah bilang, jangan buka jendela kamu lebar-lebar. Usir, dong!"

Tuh kan?

19 May 2005

sempurnA. itu KatamU.

buta?
padahal hidup ini bisa menJadi lebih sempurnA
dari apa yang kau lihaT sekarang.

tahU?
selagi aku terdiam menikmati semilir, bayu berHenti berhembus. selagi aku berjaLan, dedaunan berdiam diri menolak bertAbuhan. dan selaGI aku menengok ke atas, langit taK pErnah terlihat lebih sedih.

mati rasa?
PadahAl nelangsa yang aDA...jangankan maMpir, sUngguh, dia tidak perlu hadir.

terwujud keinginan yang tak pernah terwujud, kata pelantun di radio. kok dia tahu aku?

rahasia, rahasia.
kecewa, kecewa.
sakit, sakit.
nestapa, nestapa.

BANGSAT!

Emosi Satu Hari

Beterbangan mega di angkasa,
seputih tiada, sebiru samudera.

Sang bayu menabuh dedaunan
melantunkan lagu riang
begitu indah berirama,
seiring langkah ringan melayang.

seorang manusia terdiam,
menatap dan merasakan
lapangnya hati dunia menerima
kehadiran dia
yang masih terpaku
menyaksikan matahari putih
tengah luruh di awangan.

senja muncul di panggung
jingga mulai merona merah,
lalu yang putih tergantikan lembayung
maharaja pun tenggelam
disaksikannya.

pesona astral perlahan muncul
berkawan makhluk-makhluk malam
menemani rembulan merah jambu
di tengah angkasa kelam

seorang manusia menangis,
menatap dan merasakan
megahnya jagad tercipta...
dan waktu dinantinya habis.

11 May 2005

When Thinking...

let it pass.
no, let it stay.
just make a choice,
or save it until an other day.

which to choose?
whose to break?
i can't say.
i need to escape.

empty feeling
with flammable fear
how can i be still
if ever you come near?

dimesized rocks
turned humongous boulders
look at me, i cant stop
from looking over my shoulders.

06 May 2005

Awan*

"Dek, mbok ya sepatunya dibuang saja? Wong sudah bulukan gitu lo, dek," lamunanku dibuyarkan oleh suara ibu yang diucapkan dari luar kamar.

Pintu pun kubuka, dan…deg! Jantungku berdegup keras ketika melihat sepatu teplek berwarna putih, yang kini sudah berganti warna, dengan 2 garis merah di sisinya yang terletak persis di depan pintu kamarku. Buluk, kata ibu. Memang sudah buluk. Warnanya saja sudah berubah menjadi krem. Solnya sudah aus, ibarat ban metromini yang gundul.

"Nggak bisa, bu. Aku nggak bakal buang sepatu ini. Aku belum mau buang," ucapku pelan sambil menunduk.
"Ya sudah. Tapi, minimal mbok ya dibersihin, gitu lo?"
"Iya, nanti bu," kuambil pasangan antik itu dan berjalan menuju kamar. Ibu hanya bisa geleng-geleng mengasihani nasib sepatuku.

Ibu tidak tahu, bahwa sepatu-sepatu ini adalah barang kepunyaanku yang paling berharga. Ibu tidak tahu, bahwa hanya dengan sepasang sepatu inilah aku bisa mengenang seseorang yang dulu pernah singgah di kehidupanku.

Setelah aku taruh sepatu itu hati-hati di bawah meja rias, aku kembali meneruskan bacaanku di atas tempat tidur. Entah mengapa, bukannya konsentrasi ke novel yang sedang kupegang, pikiranku melayang ke lima tahun silam.

Namanya Awan. Radwan Pribadi Samudera. Dia kakak kelasku waktu SD, dan kembali menjadi seniorku saat aku sekolah di SMU sama dengannya. Entah kenapa, pada awal kami bertemu kembali di sekolah ini, kami langsung akrab. Dari percakapan basa-basi menjadi pertemanan, dari pertemanan menjadi persahabatan. Tak lama kemudian, seperti layaknya anak kembar dempet, kami selalu berdua. Aku selalu menunggunya di kantin setelah kuliah usai, dan dia akan selalu mengantarku ke berbagai tempat untuk menyelesaikan urusan-urusanku yang memang banyak itu.

"Ren..."
"Hmm?"
"Aku mau kamu di samping aku terus. Mau?"

Sebenarnya aku mengerti benar akan pertanyaan itu. Tapi, mau tak mau aku sedikit tergoda untuk memancing kata-kata lain dari mulut Awan.

"Maksud Kakak, apa sih? Di samping? Sekarang juga kan aku lagi di samping Kak Awan," sahutku sambil tersenyum.
"Kamu...dasar kamu! Pura-pura nggak ngerti ya? Ya udah. Aku mau kamu..."
"Hah? Kak Awan mau aku? Jadi apa? Jadi pembantu?"
"Aduh, ini anak. Renata, I want to go through all my life with you. Do you want to spend yours with me?"

Saat itu aku tidak menjawab. Aku hanya bisa memandang matanya dan menatapnya dengan sepenuh hatiku…dan benar, seketika dia tahu jawabanku atas pertanyaannya.

Aku adalah anak kedua di keluargaku. Mbak Nita, kakakku, lahir 3 tahun 11 bulan dan 11 hari lebih dulu daripada aku. Dan itu berarti ayah dan ibuku mengenalnya lebih dulu, menyayanginya selama itu pula. Dari dulu aku diajarkan untuk hanya melihat dan menonton bagaimana kasih sayang didistribusikan, berhubung aku tidak pernah benar-benar merasa disayang. Kalau kata sebuah film, I am the first pancake. Aku panekuk percobaan. Jika bentuknya jelek, maka panekuknya akan dibuang. Tapi tidak begitu kenyataannya. Bagiku, I am the last pancake. Aku adalah panekuk yang terakhir. Sisa. Panekuk pertama masih mungkin dimakan. Tapi kalau panekuk terakhir...berapa banyak, sih, orang yang masih mau menerimaku di perutnya kalau mereka sudah kenyang? Panekuk terakhir sudah pasti dibuang.

Aku tidak pernah sedekat itu dengan keluargaku. Meskipun aku tahu hampir segalanya tentang keluargaku, aku yakin mereka tidak mengenalku. Jangankan kepada ayah, kepada ibu saja aku tidak pernah bercerita apapun. Kepada kakakku...yah, beda umur kami cukup mempengaruhi kedekatan hubungan kami. Apalagi dia selalu disibukkan dengan teman-temannya dan kegiatan ini-itu. Singkat kata, singkat cerita, tak seorangpun di keluargaku yang tahu tentang hubunganku dengan Awan.

Di antara teman-temanku pun, hanya segelintir yang tahu, bahkan bisa dihitung dengan jari. Totalnya ada 4 orang yang tahu. Yang tiga orang adalah sahabatku dari SD, sedangkan yang 1 lagi adalah teman lelaki yang aku kenal dari kegiatan ekstrakurikuler, namanya Satria. Tapi jangan berpikir yang macam-macam. Di antara Satria dan aku tidak pernah ada apa-apa. Kami hanya berteman baik. Itu saja. Kini, selepas SMA dan kuliah, aku bertemu lagi dengannya di kantor yang kini mempekerjakan kami.

Awanku tidak pernah cemburu melihat aku dan Satria pulang bersama. Dia tahu kami berteman, dan bahkan sering ngobrol dengan Satria. Aku memiliki pacar yang paling pengertian di seluruh antero dunia. Dia bahkan mau mengerti alasanku untuk tidak memperkenalkannya lebih dulu kepada orang tuaku, dan justru memilih untuk memperkenalkanku kepada kedua orangtuanya.

Awanku paling protektif terhadap pacarnya ini. Dan aku senang menerima perhatiannya. Panggil aku norak, dangdut, menye-menye, atau apalah...tapi aku sering luluh dibuatnya. Aku luluh, ketika dia berpindah sisi dari samping kiri ke kananku atau sebaliknya– tergantung arah mobil-mobil yang sedang melaju – ketika kami menyeberang jalan, untuk melindungiku. Aku luluh, ketika dia membatalkan acara dengan teman-temannya untuk menemaniku ke acaraku dan teman-temanku hanya untuk memastikan aku tidak pulang kemalaman. Aku luluh, karena dia berkeliling bagian sepatu di sebuah department store untuk membelikanku sepasang sepatu putih. Aku luluh, ketika dia sukarela mengantarku berjalan kaki ke halte dan memayungiku dengan payung bergambar bunga-bunga norak dengan warna terang. Aku luluh, ketika dia memayungiku dengan jaketnya saat payungku tak bisa terbuka. Aku luluh, ketika dia memakan roti isi mesjes buatanku dengan lahap dan berkata, "gila, ini enak banget," padahal itu hanya roti berisikan mentega dan mesjes.

Aku luluh, luluh, dan luluh berjuta-juta kali.

Lalu...
KRIIING!

"Halo, Renata?" Suara bosku. Mungkin hendak mengecek jadwalku bertemu klien hari ini. Dia memang bos yang strict, tapi semua karyawannya tunduk hormat kepadanya.
"Iya?"
"Irene nih."
"Iya, mbak. Ada apa?"
"Saya cuma mau tanya jadwal kamu. Kamu ada janji ketemu Ibu Rita nanti sore, kan?" Tuh, kan.
"Iya, mbak. Nanti di Restoran deNat. Mbak nanti dateng juga?"
"Oh, nggak. Saya cuma mau ngecek aja. Jangan lupa ya nanti kontraknya dibawa. Ibu Ritanya dijelasin lagi tentang kebijakan-kebijakan perusahaan kita. Oke?"
"Beres, mbak."
"Ya sudah. Makasih ya, Ren."
"Sama-sama, mbak."

Klik!

Mataku beralih dari handphone ke novel yang semula kubaca. Akhirnya kuraih lagi novel itu, kubetulkan posisiku di tempat tidur, dan kembali kubaca buku tebal itu. Seketika aku tersentak pada satu kata: leukemia. Penyakit sialan yang akhirnya merenggut orang pertama yang benar-benar aku sayangi. Sesak rasanya dadaku jika mengingat hari itu…hari dimana Awan memintaku menemaninya ke dokter di sebuah rumah sakit di kawasan Bintaro.

"Nak Awan…saya takut nak Awan harus dirawat intensif di RS ini. Saya ngeri kalau nak Awan bersikeras untuk tinggal di rumah, kalau nanti terjadi apa-apa, kami tidak bisa melakukan penanganan secepatnya."
"Dok...memangnya separah itu?"
Mendengar pertanyaan Awan, aku tersentak dan menengok penuh tanya ke arahnya.
"Nak Awan, maaf...tapi, ini sangat akut. Saya sendiri tidak mengerti bagaimana nak Awan masih bisa sekolah seperti biasa dengan penyakit seperti ini."
Pernyataan dokter membuatku semakin panik. Sakit apakah sebenarnya Awan? Mengapa tidak dia katakan sebelumnya? Mengapa baru kali ini aku dibawa bersamanya ke hadapan dokter ini?
"Saya sudah bicara dengan orangtua nak Awan di Singapura. Untuk sementara, mereka belum bisa kembali kesini, tapi mereka setuju agar nak Awan dirawat di RS ini saja."
"Begitu ya? Kalau begitu...besok akan saya kasih kepastiannya, Dok. Terima kasih banyak. Permisi, Dok."

Begitu kami keluar dari ruang praktek Dr. Harto, aku langsung menghujani Awan dengan pertanyaan yang bertubi-tubi.
"Kamu sakit apa? Kenapa harus dirawat intensif? Kenapa kata dokter kamu akut? Kamu kenapa nggak pernah bilang?"
"Sabar, Ren, sabar. Kita duduk dulu yuk, di sana," katanya sambil menunjuk sebuah bangku kayu di ruang tunggu.

Begitu duduk, kuulangi lagi pertanyaan-pertanyaanku, "sakit apa? Kenapa dirawat intensif? Kamu akut? Kenapa nggak pernah bilang?"
"Ren...aku kira penyakit aku ini bakal hilang. Minimal nggak jadi parah kayak gini. Aku...aku leukemia, Ren."
"Leukemia?"
"Nggak ada yang tahu aku sakit. Yang tahu cuma keluarga aku aja. Temen-temen aku nggak ada yang tahu kok. I can't tell it to anyone..."
"Not even me?" Ucapku dengan perasaan sedih bercampur kesal.
"Especially YOU!"
Rasanya, baru kali itu aku melihat Awan kehilangan kontrol atas emosinya. Aku sendiri kaget ketika mendengar nada bicaranya yang meninggi. Namun ketika aku melihat air mata di sudut matanya, seketika air mataku keluar juga.
"I'm sorr...I didn't mean to snap out."
Aku hanya bisa diam.
"Renata. Now that you know...would you leave me?"
Kupandang matanya lekat-lekat.
"Radwan Pribadi Samudera...never will I leave you."

Tepat seminggu setelah percakapan itu Awan mulai dirawat. Aku datang setiap hari ke RS, sampai-sampai aku harus bolos kegiatan-kegiatan ekstrakurikuler sekolah. Sebulan berikutnya adalah cobaan yang berat bagiku. Sulit untukku melihatnya dipasangi kateter, selang infus, dan selang-selang lainnya. Tak jarang pula aku melihatnya kesakitan setiap kali katup infus disuntikkan vitamin atau obat-obatan lain. Untungnya aku bertahan, karena kedua orangtua Awan benar-benar tidak bisa meninggalkan urusan mereka. Bahkan suatu hari mereka meneleponku dari sana dan menitipkan anaknya kepadaku.

Bulan kedua, Awan dan aku mulai terbiasa dengan segala pengobatan dan prosedur rumah sakit yang merawatnya. Awan sudah mulai bisa bercanda-canda lagi, dan kami mulai akrab dengan para perawat di sana. Kedua orangtua Awan sudah kembali dari Singapura, sehingga aku tidak begitu sering meninggalkan sekolah untuk menjenguk Awan. Quality time for family, begitu pikirku.

Di sebuah hari selasa, sepulang sekolah aku dijemput oleh supir pribadi keluarga Awan yang memintaku untuk segera naik ke mobil. Karena aku cukup akrab dan kenal dengan supirnya, tanpa basa-basi aku menurutinya.

Hatiku was-was.
Dadaku sesak.
Aku...deg-degan.

Berulang kali aku menggigiti kuku tanganku; kebiasaanku jika sedang gugup.

Bagaimana aku tidak gugup? Tanpa kabar berita, tiba-tiba saja aku dijemput oleh supir pribadi keluarga Awan untuk pergi ke rumah sakit. Bagiku saat itu hanya ada 2 kemungkinan.
Satu, Awan kritis.
Dua, Awan sudah pergi.

Tapi aku tidak mau terlalu cepat berkesimpulan sebelum aku tahu yang sebenarnya.
Perjalanan ke rumah sakit terasa sangat lama, sehingga begitu mobil berhenti di depan rumah sakit, aku langsung berjalan secepat yang aku bisa hingga sampai di depan kamar Awan.
"Renata, maaf ya Tante langsung kirim supir ke sekolah kamu. Tapi Awan yang maksa tuh. Katanya ada perlu penting sama kamu. Masuk, gih," ujar ibu Awan.
"Iya, Tante, makasih."
Perlahan kubuka pintu kayu itu. Begitu terbuka, terlihat olehku mata teduh Awan yang sedang terbaring di tempat tidur.
"Renata...akhirnyaaaa..! Lama banget sih?"
"Hah? Lama ya? Maaf ya? Padahal tadi supir kamu udah ngebut loh!"
"Iya? Wahahaha...tumben-tumbenan dia ngebut. Biasanya kan dia selon."
"Emm...Wan, kenapa kamu manggil aku sampe nyuruh supir segala? Kamu kan tahu aku pasti ke sini hari ini?"
"Hehehe..aku nggak sabar aja. Lagian, aku pengen ngasih kamu sesuatu."
"Apaan?"
"Puisi."
"Puisi?"
"Iya...puisi. I know I didn't write it myself, but I heard it in a movie, and I just wanted to give it to you."
"I don't want you to give it to me."
"Hah?! Serius?!"
"Serius..! I want you to read it to me, if it's okay."
"Idih, malu ah!"
"Hahaha. Ya udah, aku cuma bercanda. Sini, mana puisinya?"
"Emm...you know what? I'll read it."
"Serius?!"
"Iya. Duduk deh."

Lalu, aku jatuh cinta. Lalu, aku luluh untuk kesekian juta kalinya.

Setelah membacanya dengan parau dan susah payah, Awan tersenyum lemah. Saat itulah aku tahu, dia akan segera pergi. Airmataku tergenang. Sesak di dadaku semakin menjadi. Tak kuat, aku pamit hendak ke kamar kecil untuk menenangkan diri.
Tepat ketika aku kembali, dokter dan perawat-perawat yang bertugas terburu-buru, berlarian ke arah kamar Awan.

KRIIING!

Handphoneku berbunyi. Lamunanku buyar, dan tanpa sadar entah berapa tetes air mata yang sudah aku keluarkan sembari mengenang.

"Halo? Ren?"
Suara Satria. Sore ini kami memang harus bertemu dengan klien di suatu restoran dekat rumahku.
"Iya Sat. Kenapa?" Susah payah aku menahan tangisku.
"Nggak. Gue cuma mau tanya, elo perlu gue jemput nggak nanti? Soalnya kan restonya di deket rumah loe."
"Emm...Kalo nggak ngerepotin, boleh sih. Tapi nggak usah deh, Sat. Gue..."
"Ren..."
"Iya?"
"Elo abis nangis ya?"
"..."
"Inget Awan ya?"
"Iya..."
"..."
"Gue kayak orang goblok ya, Sat? Orangnya udah nggak ada, gue masih aja nangisin. Padahal kan harusnya gue udah lupa sama dia," ujarku sambil kembali terisak.
"Ssshh..Ren. Kamu salah, Ren. Nggak apa-apa kok kalo elo nangis. Tuhan tahu kok, loe sayang sama Awan. Lagian, masa' loe mau ngelupain Awan? Jangan dong. Orang yang udah nggak ada itu cuma bisa hidup di memori elo. Di ingatan loe. Kalo elo ngelupain...siapa yang mau nginget Awan? Nanti Awan hidup di mana?"
"..."
"Ya udah. Udah setengah lima nih. Siap-siap, gih! Setengah jam lagi elo gue jemput, karena kita ketemu klien jam ½ 6. Oke?"
"Iya."
"Oke. Terus...ya udah. Besok pagi, elo gue jemput lagi, kita sama-sama ke makamnya Awan."
"Iya."
"Ya udah ah. Sana, siap-siap ya?"
"Iya."
"Dagh, Ren. See you in half an hour."
"Sat..."
"Iya?"
"Makasih ya..."
"Your welcome. Dagh."
Klik!
Satria. Selain Awan, memang dia yang paling bijaksana. Tersenyum, kuingat lagi kata-katanya, "Lagian, masa' loe mau ngelupain Awan? Jangan dong. Orang yang udah nggak ada itu cuma bisa hidup di memori elo. Di ingatan loe. Kalo elo ngelupain...siapa yang mau nginget Awan? Nanti Awan hidup di mana dong?"

Kutengok jam dinding di tembok kamarku. 16.42.
Masih banyak waktu, pikirku.
"Biii...!" Teriakku memanggil bibi yang ada di dapur.
"Iya, non?"
"Tolong ambilin semir putih sama kain ya!"
"Iya, non!"
Tak seberapa lama kemudian, si bibi datang mengetuk pintu kamarku.
"Makasih ya, Bi."
"Buat apa sih, Non?"
"Ih, Bibi mau tahu aja. Ini, semirnya, mau aku pake buat nostalgia."
"Hah?"
"Udah ah, sana! Sebentar lagi temenku jemput ni."
"Ha? Oh! Iya, iya."
Kututup pintu kamar lalu berjalan ke arah meja rias.
Kubuka kaleng semir, kuambil sepasang sepatu putihku, kuoleskan semir ke kain yang diambilkan si bibi, lalu aku mulai menggosok-gosok sepatu itu agar terlihat decent dan bisa kupakai sore ini untuk bertemu klien.

I do not love you as you were salt-rose or topaz,
or the arrow of carnations the fire shoots off.
I love as certain dark things are to be loved,
in secret, between the shadow and soul.

I love you as the plant that was never blooms,
but carries in itself the light of hidden flowers;
thanks to your love a certain solid fragance,
risen from the earth, lives darkly in my body.

I love you without knowing how, or when, or from where.
I love you straightforwardly, without complexities or pride;
so I love
because I know no other way than this.

Where I does not exist, nor you,
so close that your hand on my chest is my hand
so close that your eyes close as I fall asleep




[Jakarta, 6 Mei 2005, in memoriam]

21 April 2005

Sang Penumpang

Penumpang taksiku ini masih muda. Dibandingkan denganku, pria 57 tahun ini, dia jauh lebih ganteng...parlente. Pasti kaya. Setelan jas, sepatu kulit kinclong, tas kulit yang senada. Tangannya memegang sebuah buku.

"Mau rapat, Pak?" Tanyaku mencairkan suasana.
"Iya. Saya tadi ada urusan di luar kantor."
"Di hotel?"
"Pacar saya. Biasalah...."
"Oohh...memang beda ya orang muda sama orang tua kayak saya? Hahaha...."

Dia memberiku tip besar waktu turun
Ramah. Sayangnya pelupa. Bukunya ketinggalan.

Iseng, kuintip isinya.

Hari ini ketemu Alex. Muda. Kaya. Nggak kayak DIA. Supir taksi sialan. Suami apa yang cuma ngasih istrinya nasi sama tempe tiap hari?!

Tulisan tangan istriku.

Buat Bapak

"Penggal saja lehernya!" Kudengar teriakan selagi leherku dicengkeram.
"Ya, ya! Penggal saja sekarang!" Seorang lagi..
"Betul! Apalagi yang kamu tunggu?" Dan seorang lagi...
"Tapi dia satu-satunya milik saya. Dia keluarga saya sendiri."
"Ini perintah Dia! Sudah waktunya kamu relakan!"

Bapak adalah manusia pertama yang kulihat sejak aku keluar dari kungkungan.
Hanya 17 hari, tapi rasanya seperti bertahun-tahun.
Yang jelas, tak ada yang mengerti bagaimana leganya aku ketika bertemu Bapak.

"Cepatlah. Ini kan memang kewajiban kita."

Bapak menatapku sedih.
"Maafkan Bapak," katanya sambil mengayun goloknya.

Tak apa.
Untukmu, Pak...apapun aku rela.

Terdengar tahmid berkumandang...

Biarlah aku menjadi 2,5%mu Idul Adha ini.

13 April 2005

Aku, Dia, Dia, dan Dia #2

Perawat yang tadi menghampiriku, bertanya lagi, "ibu...tadi asik ngobrol sama siapa, sih?"
"Sama dia, dia, dan dia."
"Siapa?"
"Teman-teman saya, di kota bayangan. kota surreal. Kamu nggak bakal ngerti."
"Saya pernah ke kota surreal ibu. Menyenangkan. Waktu itu ibu masih muda. Masih doyan sama yang namanya rokok."
"Iya? Masa sih kamu pernah ke sana?"
"Iya. Ibu bilang, 'asap dan matahari terbenam...adalah kenyamanan.' Gitu kan?"
"Lho...iya...benar. Kamu kok tahu?"
"Waktu itu, saya adalah 'dia'."

"Ibu Maya...ibu Maya!" dua tangan asing menggoncang pundakku.
Sekelilingku berubah rupa.

Perawat tadi menghilang.

"Ini lithium ibu. Ayo, diminum. Sudah waktunya," sang psikiater bertitah.

Rupanya otak mempermainkanku.

What's Appealing?

I know you care about the models on TV.

I know you care about the jeans and the shirts they’re wearing.
I know you stare, wanting, if not jealous to the people you stare at.

I know you like the ads.
I know how you look at people, and say, hey, you're ugly.
I know appearance is beauty and beauty is appealing.

I know you.
I know you.

But don’t mind me.
Don't look at me that way.

My body is my business.

Stop staring.
Stop looking.

Stop paying attention,
to the scars, marks, and the cuts
on my wrists.

The Girl with Kaleidoscope Eyes

The girl with kaleidoscope eyes,
sees everything in color.
Except when she cries,
cause her eyes would be filled with water.

One day, the girl with the colorful sight
bumped into a boy
who seemed to shine with lights,
who instantly turned girl to coy.

She likes him,
he likes her.
Smiles, eyes grin.
Nothing was sour.

In one very windy day,
the girl with kaleidoscope eyes was blown
by a breeze carrying news that says
'boy is messing with an unknown'

Girl went home,
found boy with a woman, unknown.
she killed them,
and now she's left, again, alone.

10 April 2005

Permulaan yang Mengakhiri

Aneh.
Sebuah kotak tergeletak begitu saja di atas meja.
Bentuknya indah, berukir wajah dewa-dewi.

Bukan punyaku. Tak pernah rasanya aku membeli barang seindah ini.
Mungkin milik suamiku yang sedang pergi.

Selangkah...dua langkah.
Gerak menuju kotak itu sungguh berat.

Aku…tertarik, sekaligus merasakan ketegangan yang meraja.
Namun, setiap kali aku mengurungkan niatku, rasa ingin tahuku kembali dengan lebih dahsyat.

Ah!
Kotak itu...
Kotak itu memanggilku untuk membukanya...

Aku tak tahan lagi...
Kotak itu mengeluarkan suara tersiksa, membuatku iba!
Aku harus membukanya sekarang juga.

Sekejap, setelah kubuka, kudengar tangisan manusia-manusia di luar sana.
Dari kejauhan, terdengar bisikan mereka, "Pandoraa...karenamu manusia akan terus menderita..."

08 April 2005

Aku, Dia, Dia, dan Dia

Sebelumnya kami tidak saling mengenal. Semua sibuk dengan urusan masing-masing, masalahnya sendiri, atau masalah orang lain yang kira-kira dapat kami tangani. Baru sekarang kami berkumpul.

Pemandangannya...bagus.
Di bawah sana ada danau; sebuah rakit di pinggirnya.
Sekeliling kami penuh pepohonan, sedangkan kami duduk di tengah lantai mozaik dari kolase pecahan ubin. Lumayan unik, mengingat kami sedang di tengah 'hutan'.

Bersama, kami mengeluarkan pikiran-pikiran pintar, bertukar cerita, tertawa-tawa. Berbeda dari kami ketika di tengah kerumunan orang.
Bersama mereka kunikmati waktu, tak ingin beranjak lagi.

Seseorang menghampiriku, "ibu ngobrol sama siapa? Psikiater ibu sudah menunggu."

...

Seketika, sekelilingku berganti rupa...
Kota surreal-ku hilang.

Telaga Bidadari

Istriku meninggalkanku dengan anak kami, Kumalasari, yang masih merah ketika ia pergi.
Betapa kejam dirinya, tega memalingkan mukanya terhadap Kumala, terhadapku yang selalu mencintainya -walau harus kuakui, wajahnya memang sungguh cantik.

"Aku harus pergi, Suamiku."
"Mengapa?"
"Karena kau telah berbohong padaku?"
"Aku selalu setia kepadamu, istriku. Bukankah kau ada di sini karena..."
"Terpaksa! Aku ada di sini karena terpaksa! Dipaksa olehmu, walaupun kau tidak mengakuinya. Kalau saja Kumala tidak ada..."
"Jangan kau gunakan anak kita sebagai alasan!"
"Sudahlah. Tak ada gunanya. Aku pergi," dan beranjaklah dia dari bumi.

Namanya Putri Bungsu.
Satu tahun lalu aku mengambil selendangnya di Telaga Bidadari.

07 April 2005

Perjalanan Menuju Hecate

Alkisah, terjadilah sebuah kisah yang menurut beberapa orang mungkin tidak terlalu indah. Tahun 1997. Seorang lelaki dan seorang wanita Inggris memadu cinta. Memadu kasih sembari berkunjung ke kota Paris.

Yang lelaki adalah anak terakhir dari yang membawa nama nabi.
Sedangkan yang wanita adalah saudara kembar Apollo; namun namanya milik Romawi.

"Sayangku, aku cinta kamu," lelaki berkata.
"Sayangku, akupun juga," wanita menjawab.
Begitulah kata-kata itu diucap setiap harinya

Di Paris, Perancis...penghujung sebuah bulan yang mengatasnamakan kaisar.
Di Bumi, Jagad Semesta...Di bawah rembulan yang hampir purnama, Apollo menangis dan menolak memberikan sinarnya.

Ia berkabung berselimutkan gerhana.
Kembarannya mati;
Dia yang dipanggil diviana.

Catch of the Day

Kemarin cintaku kau terima.
Tidak akan ada orang yang dapat merasakan apa yang kurasakan hari itu. Rasanya indah, mengingat sudah lama sekali aku mencintaimu.
Memang, kau selalu berlaku baik kepadaku. Dunia seakan berjalan lebih lambat dari biasanya setiap kali kau tersenyum, atau tertawa.
Namun itu tak cukup untukku.
Aku menginginkanmu di sini sepanjang hari, setiap hari dalam hidupku.
Akhirnya kaupun akhirnya mengerti.

Sukarela, kau terbius untuk ikut denganku.
Di sini.
Di kamarku.
Sepanjang hari.
Dan untuk setiap hari dalam hidupmu; hidupku juga.

"Sayang, ini makan siang kamu," sambil kusodorkan sepiring makanan untukmu lewat jeruji kandang itu.

Takkan lagi kau kulepas.

Istriku, Kekasihku, Aku...

Kalau saja kau ada di sini, pasti kau akan mengerti.
Seperti layaknya perasaan itu, yang muncul saat menyaksikan terbenamnya matahari di laut lepas ini, aku mengagumi.
Terpesona.
Terbuai saat merahnya menyentuh air biru yang luas terbentang ini.
Terpana melihat wajahmu di benakku yang bahkan lebih indah dari segala kebesaran ini.

*

Istriku, aku berselingkuh.

Mengapa, katamu? Entahlah. Kau pikir, mengapa?

Istriku, apa kata orang jika kata cerai itu kita ucapkan bersama?

Istriku, tak maukah kau memberikanku satu kebahagiaan saja?

Aku...mencintainya.

*

Istriku, maafkan aku yang mendorongmu jatuh dari kapal ini…tapi kau tak pernah mau mengerti.

Kekasihku, tunggu aku di sana.

24 March 2005

Mengenai Perempatan

Hari sudah malam.
Dari tadi hanya 1-2 mobil melintas dan usahaku untuk mendapat uang belum menghasilkan apa-apa.

Di pojok sana kulihat adikku berbaring beralaskan selembar koran. Tertidur. Kelelahan karena sedari tadi menangis kelaparan. Usianya belum genap 4 tahun, tapi terpaksa kubawa dia ke perempatan jalan seperti ini. Terpaksa, karena aku lebih suka dirinya bersamaku daripada meminta-minta seperti anak-anak lain.

Sebuah mobil mercedez berhenti di lampu merah. Satu-satunya mobil yang ada di sini. Mungkin lebih baik aku mulai mengamen di kaca jendelanya. Tapi...itu berarti aku, dan adikku harus lebih lama lagi berada di jalanan.

...

Mungkin lebih baik kupecahkan kaca jendelanya.

Cinta. Nafsu. Buta.

"Kamu tahu? Aku cinta sekali kepada suamiku!"
"Oh ya? Kalau aku…aku tidak mengenal cinta."
"Mengapa begitu?"
"Perlukah aku jawab pertanyaan itu?"
"Tidak, tidak perlu. Beberapa pertanyaan memang tidak perlu dijawab dengan sebuah pernyataan."
"Ya. Tapi aku menikmati benar menjadi diriku selama ini. Aku masih muda, dan bebas."
"Ya...aku mengerti."
"Lalu, apa katamu? Kau cinta suamimu?"
"Ya."
"Dan dia mencintaimu?"
"Pasti. Dia selalu mengatakannya padaku."
"Lalu mengapa kau menelponku kemarin malam, memintaku untuk bertemu di sebuah hotel? Mengapa pagi ini kau di sini bersamaku, di bawah selimut hotel tanpa sehelai benang pun?"
"Entahlah. Mungkin cinta dan nafsu memang dua hal yang berbeda."

Honor Est...

"Ayolah, anakku…"
"Tapi ibu…aku takut."
"Takut? Mengapa? Lihatlah…kakak-kakakmu sudah mendahuluimu. Tidakkah kau ingin mengarungi ruang biru itu?"
"Aku dapat merasa nyaman diam di sini bersamamu."
"Tidakkah kau ingin merasakan nikmatnya melayang di sana?"
"Aku tidak ingin. Aku sungguh takut."
"Apalah yang engkau takutkan?"
"Segalanya. Mengapa tidak ada yang pasti di dunia ini? Di langit ini?"
"Apakah sepasang sayap yang tumbuh di pundakmu bukan hal yang pasti?"
"Aku sungguh menghormati keduanya. Namun ibu, honor est onus."
"Aku mencintaimu, anakku. Namun honor est praemium virtutis; kehormatan adalah anugerah utama."

Dan elang kecil itu pun akhirnya mulai mengepakkan sayap terbang menjauh dari ibunya.

A Verdict From The Hatchet

Slit. Don't slit.
Cut. Don't cut.
Eenie. Meenie. Miney. Moe.

Wonder where the names came from. Have you ever wondered?
Those four names, of which 7 syllables became the most important counts we use to decide things.

Important. Unimportant.
Yes. No.
Cut. Don't cut.

My eyes are starting to water. I can't think. I'm devastated from everything. The sight of a knife in my hands. The water running, filling up the sink. And the drowning feeling inside my chest.

I watched over as the pot sounded its shrill.

I cried. I cried. I cried.
But I chopped the onion, anyway.

From Love, the Sun

"They say the sun was resurrected by the Mayan or Incan Gods. I don't exactly know."
"Why?"
"The Gods were trying to save mankind and the world from the end."
"Oh. I see."
"Yeah. The Gods killed themselves and from their blood, came a new sun."
"They sacrificed themselves?"
"Yes. Ironic isn't it? Here we are, staring at the same crimson sky colored by the same sunset the Gods created by sacrificing themselves…While I've always doubted The Powers That Be."
"Amor mundum sol. Who knew they loved us so much."

We stared at the sun lovingly...although I loved you more.

23 March 2005

The Art of Moving On

"Don't look back...move on."
That's what my friends said when I broke up with my selfish ex who found out I was sleeping with someone else. My parents too, when I didn't get the scholarship. Only they didn't know that I was high on crack the night before the test.

I never listen, though. But now I know it's time for me to try.

I turn the wheel left…
To my parents house, pronto.

SCREEECH…

The man with the motorcycle fell, unconscious…
There's blood all over his face.
I'm to blame.

Stepping on the gas,
I'm moving on.

Setan Terungkap…Ketika Cinta Itu Terlalu Kuat.

Dua minggu lalu kuterima sebuah surat pendek darimu yang menjadi awal dari akhir yang kukira akan indah.
Di dalamnya kau nyatakan cinta, mesti aku belum pernah melihatmu walaupun sekali. Di dalamnya kau nyatakan cinta dengan wacana indah, seindah-indahnya indah.
Akupun luluh.

Minggu lalu suratmu datang kembali dan memikatku. Aku jatuh cinta dan mendamba untuk bertemu.

Lalu bertemulah kita.
"Aku ingin memilikimu," katamu, dan akupun juga.
Namun aku berpunya hingga kukatakan, "tidak."
Sayangnya, engkau mendendam dan berhasrat untuk memilikiku sendiri.

"Kau hanya untukku dan bukan yang lain."
Dengan kalimat itu, kau tusuk jantungku dengan sebilah pisau.

Atas nama cinta, Setan membunuhku.

22 March 2005

Nemo

Di mana dia?
Aku gelisah. Gundah.
Aku butuh dia, sekarang.
Dia adalah segalanya bagiku, dan tanpanya aku tak bisa berbuat apa-apa.

Di mana dia?
Kita sudah janjian dan sudah 15 menit berlalu.
Tak biasanya dia terlambat.

Hasrat dan gairahku tak tertahan.
Mataku serasa berkunang-kunang melihat barang-barang di sekitarku.
Hatiku berdebar-debar karena tak kuasa menahan diri.
Tuhan…aku tak sabar lagi.

"Sayang! Lama banget sih? Aku udah nunggu dari tadi di sini. Aku kira ada apa-apa."
"Aduh..tenang dong, say. Aku nggak kenapa-kenapa kok. Kamu khawatir banget ya?"
"Bukan itu. Aku beli tiga tas, dua pasang baju, sama rok. Mana kartu kredit kamu?!"

How Could He Not Be In Love?

It'll be great when he comes home. I can't wait to see him.

I'm driving...remembering what it was like a year ago.
He was leaving; I couldn't face him.
I was in love and pretty sure he was too, with me.
How could he be not?

The airport; and my mind wander. I'm at the same place he kissed me saying goodbye. And I'm sure he still loves me the same.

"Stella!"
"God, how I miss you!"
"I have surprise for you."
The world is in slow motion as he holds my hands.

"I got engaged."
The revolving finally stops.

Choices, choices

The stars tonight look enchanting.
So charming, I decide to get out of my apartment and head to the emergency exit and climbed up.

My head's been heavy for weeks.
Months.
Years.
How many days? I've lost count.

The roof.
The air is fresh; the city lights are reflecting the stars in colors…
The ledge is enticing, so very enticing.
Confusingly luring.

It's what you get from a depression for nothing: a feeling of hating life and loving death but fearing it at the same time.

[1, 2, step...]
I chose my worst.

And oh, how lovely are the stars.

20 March 2005

Read: sdroW eht dnoyeB

"Mana cewek loe?"
!nalais kewec rasaD

"Nggak tau..gimana ya? Gue udah telpon dari tadi, ga bisa-bisa. Apa dia cemburu sama kita lagi ya?"

"Nggak bisa gitu dong. Dia kan harusnya ngerti! Mana malam ini elo mo ngelamar pula!"
!ramal ole gnay eug aynsuraH...nalaiS

"Ya udah, deh. Temenin gue!"

"Kemana? Berdua aja?"
!uoy evol I uoy evol I uoy evol I

"Ke rumahnya."

"Ngapain? Palingan nggak di rumah."
.hamur id ada nignum kaggN

"...Takut dia marah. Pake mobil lo aja ya? Mobil gue baru dicuci."

"Ya udah. Jangan buka-buka bagasi gue. Berantakan."
.eol kewec ada aynmelad iD. eug isagab akub-akub nagnaJ.

Apathy for the Chariot of Loops and Sudden Drops

With great amount of hesitation, I walked ahead of my kids.
Worried, filled with anxiety, I accelerate my steps twice faster towards the chariot of death that's been haunting me for all my life, and I'm 43 years old now.

I stopped.

Now all I have to do is wait as I am closer and closer to the terror. Of countless rushes of blood, of hot wind blowing to your face, of gravity so strong you fell ill with every move.

I swear that THIS is closest to HELL...

...

Unwillingly, after all the reluctance...
I stepped into the rollercoaster.

Pulang

Tiga hari sebelum 2004
"Katanya, anak-anak Yogya mau mudik hari ini ya? Elo ikutan?"
"Enggak. Pas tahun baru aja."
"Kenapa?"
"Biar berkesan, dong."
"Enakan sebelum tahun baru elo udah sampe Yogya, Don. Di kosan kan kosong."
"Gue pengen banget pulangnya pas tahun baru. Malah udah dapet tiket kereta terakhir tanggal 31."
"Anak aneh! Hehueheuhu."
"Sialan! Haehaehaehue."

Jakarta, 01 Januari 2004, 01.47 dini hari.
Kriiing!
"Halo?"
"Met tahun baru, Pram."
"Hai, Wi! Met tahun baru juga. Kenapa? Kok awal tahun udah lesu?
"Pram…jangan kaget ya. Jam 10 tadi, Doni meninggal ketabrak kereta."


Did you know back then you WERE going 'home'?

Maybe someday, a Rainbow for You

I've watched him from afar for about two years now.
Admire his every smile and even the twinkles on the corners of his eyes when he laughs.

I’m in love with him, you see.

He would be perfect with me but nobody seems to see it...

Updating myself with his life, I've been pushed around, shoved down, and battered to pieces every time a rumor goes by.

I wait.

And still I wait.

Today I walked up.
"Hi."

He said, "I love you."
He had loved me, watched me from afar for 3 years.
For that, I love him more.

05 March 2005

Wish You Did It to Me, First

The cemetery's packed with people.

Look...you had so many friends. they're all here because of you. Back then, you were always worried no one will cry at your burial. But they're all sobbing now. Mom. Dad. The ones you thought left you when they found out you were shooting heroin up your eyeballs.

Sad how you die just to know these things.

...

How come you die first...
when the load injected to you for the first time,
was done by me...

while you were sleeping?

*

Anyway, I’m waiting for my turn now...

Wish you did it to me, first.

Think It Over and Over, Again

She fits squares into circles, and that's what she does best.
But now, she couldn't deal with theories.
Facts.

So the world is round?
But why aren't there no round tv screens?
And why are doors all squared?

Why are girls girls, why are boys boys? Aren’t people DIFFERENT?

and they say,
why can't I...
understand?

*

TV announcer. morning after:
this just in. a 14 year-old boy was found dead in his room, in a boarding school west of London. It is assumed the suicide boy was frustrated because nobody understood he wanted to be someone else.

A girl.
She Really Does Love Her Son

"It's freezing out there!"
"It's alright. I'm waiting for someone."
"Who?"
"My son. Tall, brown eyes and hair..?"
"No, sorry. How long have you been waiting?"
"Two years. I've been waiting 2 years now."
"And he said he was gonna meet you here?"
"I'm not sure. he said, 'i'll get you, bitch!' right after i stabbed him, right after he set his dad on fire."
"Uhm.. right. And you're waiting for...?"
"I'm waiting for him to kill me for stabbing him."

She looked at me with tears rolling down her cheeks.

"Not a problem."

...

She didn't even recognized me.
That bitch!
Happy Thanksgiving

The weekend began with a longing.
A man walked down the street as I stared out the peeping hole on my door. An orange wooden door, which I am very keen of.

*ding*
The oven is calling.

I cooked for you. For your admiration and adorement.

I peeped.

Still no you.

Minutes passed.

I peeped again. You came running from the corner. I opened the door.

"Hi there, neighbor. Mmm..smells good! You cooked?"

I nodded, smiled.

"Well, Happy Thanksgiving! I gotta run along now. My wife is waiting for me."

I nodded again.

...

Someday I'm gonna kill your wife.