look over here
we're so far apart.
we hardly see each other,
i can't barely feel your heart.
come back, love.
where are you right now?
i need to hold you tonight.
i need to desperately cry.
28 February 2006
24 February 2006
Hatiku Pecah Ketika Pesawatmu Berangkat
ketika pesawatmu berangkat
seiring dengan terbitnya senja
langitpun memudar
dan malam muncul tanpa cinta
ketika awan nila menelan
habis bayangmu di pelupuk mentari
hatiku mati, jatuh tertelungkup
meringkuk sepi menantimu kembali
mungkin hatiku pecah
berkeping beling, berbelah darah.
tetapi sayangku, ketika 14 purnama berlalu
kau 'kan kembali dan aku 'kan masih ada di sini
seiring dengan terbitnya senja
langitpun memudar
dan malam muncul tanpa cinta
ketika awan nila menelan
habis bayangmu di pelupuk mentari
hatiku mati, jatuh tertelungkup
meringkuk sepi menantimu kembali
mungkin hatiku pecah
berkeping beling, berbelah darah.
tetapi sayangku, ketika 14 purnama berlalu
kau 'kan kembali dan aku 'kan masih ada di sini
17 February 2006
moral awakening
if you're asking
about what's real
and what's illusive,
and nobody
could figure it out,
ask me.
i would love to answer.
what's illusive,
is a happy life.
since we made it up
inside our heads,
and believe it with our hearts.
but at the same time,
we see with our eyes
that what's real,
are the bloody headless bodies,
the dry ice blocks on top of corpses,
and mothers killing their babies.
about what's real
and what's illusive,
and nobody
could figure it out,
ask me.
i would love to answer.
what's illusive,
is a happy life.
since we made it up
inside our heads,
and believe it with our hearts.
but at the same time,
we see with our eyes
that what's real,
are the bloody headless bodies,
the dry ice blocks on top of corpses,
and mothers killing their babies.
Kamu Tau Kamu Tabu?
Apa saja bolehlah.
Aku juga tak begitu peduli.
Memang keacuhan yang aku harapkan.
Kamu tau kamu tabu?
Menyenangkan,
namun membunuhku pelan-pelan,
dramatis.
Nyawaku naik turun dibawamu.
Dengan kebaikan yang bersifat racun
walau kamu mungkin memang tulus.
Seiring detik berdetak dalam larinya,
aku menghitung
sisa-sisa nafas yang tertinggal.
Kamu mencuri nafasku
dengan senyummu.
Ketika menit bertumpuk
menjadi hitungan jam,
aku merasa jantungku kian melemah.
Kamu menusuk jantungku,
dengan matamu.
Pelan-pelan kamu merampas hidupku,
tapi aku menikmatinya.
Kamu tau kamu tabu?
Aku mencintaimu,
tapi kamu membunuhku perlahan dan diam-diam.
Aku juga tak begitu peduli.
Memang keacuhan yang aku harapkan.
Kamu tau kamu tabu?
Menyenangkan,
namun membunuhku pelan-pelan,
dramatis.
Nyawaku naik turun dibawamu.
Dengan kebaikan yang bersifat racun
walau kamu mungkin memang tulus.
Seiring detik berdetak dalam larinya,
aku menghitung
sisa-sisa nafas yang tertinggal.
Kamu mencuri nafasku
dengan senyummu.
Ketika menit bertumpuk
menjadi hitungan jam,
aku merasa jantungku kian melemah.
Kamu menusuk jantungku,
dengan matamu.
Pelan-pelan kamu merampas hidupku,
tapi aku menikmatinya.
Kamu tau kamu tabu?
Aku mencintaimu,
tapi kamu membunuhku perlahan dan diam-diam.
Kenangan
Hari itu, pukul 10 pagi. Aku datang duluan, menunggumu di sebuah kafe, mendudukkan diri di bangku paling depan. Paling dekat dengan pintu. Dengan begitu aku bisa melihatmu ketika kamu datang. Dan juga agar kita berdua bisa sama-sama cepat-cepat keluar dari kafe ini sekaligus percakapan kita nanti.
Di depanku gelas kertas putih setinggi 15 cm berisi latte siap kutenggak.
Tak kusentuh.
Kubeli hanya sekedar untuk memenuhi tuntutan kafe ini untuk bisa duduk di dalamnya.
Dingin.
Ataukah aku menggigil karena deg-degan? Takut, barangkali?
Ya, mungkin memang itu.
Gugup.
Ingin semuanya cepat berakhir, dan sekarang perasaan itu mengambil alih kakiku yang bergerak naik turun dengan irama supercepat…mungkin sedikit banyak syarafku sudah rusak.
15 menit. Tak biasanya kamu terlambat. Kamu selalu tepat waktu bahkan datang sebelum aku. Tak pernah membuatku menunggu.
Tapi mungkin ini caramu menyiksaku.
Mungkin kamu sudah tau isi percakapan kita nanti dan ini caramu menyiksaku.
Menunggumu dan bertahan gugup setengah mati lebih lama lagi.
Ketika kamu datang, sosokmu yang terlihat jelas menjadi bukti bahwa kursi yang kupilih benar. Dengan mudah mataku langsung menangkap jaket warna krem favoritmu itu.
Seakan sedang menikmati wahana di sebuah taman ria, jantungku berdegup cepat mengiringi tiap langkahmu mendekati pintu kafe.
Setelah memasuki kafe, kamu layangkan sejenak senyummu ke arahku kemudian berjalan ke counter tempat pengunjung memesan minuman.
Kamu membuatku menunggu lagi.
Jantungku berdegup lebih cepat. Memompa darahku lebih deras hingga aku merasa ledakan kecil di kepalaku.
3 menit kemudian pesananmu selesai diracik. Gelasnya sudah kamu pegang. Kamu berbalik perlahan dan berjalan ke arahku. Mulai detik itu waktu berjalan lambat.
Semuanya terlihat seperti film-film lama. Vivien Leigh dan Clark Gable bermesraan di belakangmu, melakonkan adegan dari Gone With The Wind, menari waltz bersama, dengan warna hitam putih, dalam slow motion.
Jantungku berdetak keras.
Kamu melangkah.
Detak, lalu langkah.
Detak, lalu langkah.
Detak, lalu langkah.
Kamu duduk.
Jantungku berhenti.
Dan kitapun, tanpa kata, berpandangan sedih.
Di depanku gelas kertas putih setinggi 15 cm berisi latte siap kutenggak.
Tak kusentuh.
Kubeli hanya sekedar untuk memenuhi tuntutan kafe ini untuk bisa duduk di dalamnya.
Dingin.
Ataukah aku menggigil karena deg-degan? Takut, barangkali?
Ya, mungkin memang itu.
Gugup.
Ingin semuanya cepat berakhir, dan sekarang perasaan itu mengambil alih kakiku yang bergerak naik turun dengan irama supercepat…mungkin sedikit banyak syarafku sudah rusak.
15 menit. Tak biasanya kamu terlambat. Kamu selalu tepat waktu bahkan datang sebelum aku. Tak pernah membuatku menunggu.
Tapi mungkin ini caramu menyiksaku.
Mungkin kamu sudah tau isi percakapan kita nanti dan ini caramu menyiksaku.
Menunggumu dan bertahan gugup setengah mati lebih lama lagi.
Ketika kamu datang, sosokmu yang terlihat jelas menjadi bukti bahwa kursi yang kupilih benar. Dengan mudah mataku langsung menangkap jaket warna krem favoritmu itu.
Seakan sedang menikmati wahana di sebuah taman ria, jantungku berdegup cepat mengiringi tiap langkahmu mendekati pintu kafe.
Setelah memasuki kafe, kamu layangkan sejenak senyummu ke arahku kemudian berjalan ke counter tempat pengunjung memesan minuman.
Kamu membuatku menunggu lagi.
Jantungku berdegup lebih cepat. Memompa darahku lebih deras hingga aku merasa ledakan kecil di kepalaku.
3 menit kemudian pesananmu selesai diracik. Gelasnya sudah kamu pegang. Kamu berbalik perlahan dan berjalan ke arahku. Mulai detik itu waktu berjalan lambat.
Semuanya terlihat seperti film-film lama. Vivien Leigh dan Clark Gable bermesraan di belakangmu, melakonkan adegan dari Gone With The Wind, menari waltz bersama, dengan warna hitam putih, dalam slow motion.
Jantungku berdetak keras.
Kamu melangkah.
Detak, lalu langkah.
Detak, lalu langkah.
Detak, lalu langkah.
Kamu duduk.
Jantungku berhenti.
Dan kitapun, tanpa kata, berpandangan sedih.
Aku Sudah Bilang Kamu Tabu
balon yang diberimu tak pernah bertahan.
terbawa angin, kalau tidak meletus.
terkadang dengan kuatnya membawaku terbang,
untuk meletus di tengah awan,
menjatuhkanku kembali ke tanah
hingga hancur berserakan.
dan aku sudah bilang kamu tabu,
bahkan balon darimu adalah candu.
terbawa angin, kalau tidak meletus.
terkadang dengan kuatnya membawaku terbang,
untuk meletus di tengah awan,
menjatuhkanku kembali ke tanah
hingga hancur berserakan.
dan aku sudah bilang kamu tabu,
bahkan balon darimu adalah candu.
Penjaja
aku berteman
dengan lampu malam kota
yang menggoda manusia
untuk terlelap ketika dini hari tiba.
aku,
perempuan hina yang mengais pengampunan.
dengan lampu malam kota
yang menggoda manusia
untuk terlelap ketika dini hari tiba.
aku,
perempuan hina yang mengais pengampunan.
Subscribe to:
Posts (Atom)