Hari itu, pukul 10 pagi. Aku datang duluan, menunggumu di sebuah kafe, mendudukkan diri di bangku paling depan. Paling dekat dengan pintu. Dengan begitu aku bisa melihatmu ketika kamu datang. Dan juga agar kita berdua bisa sama-sama cepat-cepat keluar dari kafe ini sekaligus percakapan kita nanti.
Di depanku gelas kertas putih setinggi 15 cm berisi latte siap kutenggak.
Tak kusentuh.
Kubeli hanya sekedar untuk memenuhi tuntutan kafe ini untuk bisa duduk di dalamnya.
Dingin.
Ataukah aku menggigil karena deg-degan? Takut, barangkali?
Ya, mungkin memang itu.
Gugup.
Ingin semuanya cepat berakhir, dan sekarang perasaan itu mengambil alih kakiku yang bergerak naik turun dengan irama supercepat…mungkin sedikit banyak syarafku sudah rusak.
15 menit. Tak biasanya kamu terlambat. Kamu selalu tepat waktu bahkan datang sebelum aku. Tak pernah membuatku menunggu.
Tapi mungkin ini caramu menyiksaku.
Mungkin kamu sudah tau isi percakapan kita nanti dan ini caramu menyiksaku.
Menunggumu dan bertahan gugup setengah mati lebih lama lagi.
Ketika kamu datang, sosokmu yang terlihat jelas menjadi bukti bahwa kursi yang kupilih benar. Dengan mudah mataku langsung menangkap jaket warna krem favoritmu itu.
Seakan sedang menikmati wahana di sebuah taman ria, jantungku berdegup cepat mengiringi tiap langkahmu mendekati pintu kafe.
Setelah memasuki kafe, kamu layangkan sejenak senyummu ke arahku kemudian berjalan ke counter tempat pengunjung memesan minuman.
Kamu membuatku menunggu lagi.
Jantungku berdegup lebih cepat. Memompa darahku lebih deras hingga aku merasa ledakan kecil di kepalaku.
3 menit kemudian pesananmu selesai diracik. Gelasnya sudah kamu pegang. Kamu berbalik perlahan dan berjalan ke arahku. Mulai detik itu waktu berjalan lambat.
Semuanya terlihat seperti film-film lama. Vivien Leigh dan Clark Gable bermesraan di belakangmu, melakonkan adegan dari Gone With The Wind, menari waltz bersama, dengan warna hitam putih, dalam slow motion.
Jantungku berdetak keras.
Kamu melangkah.
Detak, lalu langkah.
Detak, lalu langkah.
Detak, lalu langkah.
Kamu duduk.
Jantungku berhenti.
Dan kitapun, tanpa kata, berpandangan sedih.
No comments:
Post a Comment